SITI Maryam (29) merupakan satu dari beberapa gelintir orang yang berani secara terbuka mengaku sebagai orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Dia menemukan kekuatan dari suami dan ketiga anaknya. Siti pertama kali tahu mengidap HIV-AIDS ketika memeriksakan kandungan, Februari 2013 lalu. Janin yang masih berumur dua pekan itu merupakan anak keduanya. Anak pertamanya sudah berumur empat tahun.
Ketika itu hasil tes tak bisa diketahui dalam hitungan menit seperti sekarang. Siti tahu positif mengidap HIV sebulan kemudian. Ia tidak mengajak sang suami ketika mengambil hasil tes di RSUD Sele Be Solu. “Saya syok, sedih. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Selama seminggu saya simpan rapat-rapat hasil tes itu. Saya tidak berani memberitahu suami,” tutur Siti ketika berbagi cerita di kantor Yayasan Tifa Mandiri (Yatima), Kota Sorong.
Di hari ketujuh, Siti memberanikan diri mengajak sang suami dan anak sulung mereka datang ke rumah sakit. Di ruang pemeriksaan, dia berbicara empat mata dengan sang suami. Siti mengungkapkan hasil tes tersebut dan sudah bersiap menghadapi luapan kekecewaan atau bahkan kemarahan sang suami.
“Apapun yang akan dia katakan hari itu, saya sudah siap. Namun betapa terkejut saya ketika dia justru menyampaikan rasa kecewa karena saya tidak memberitahukan hasil tes secepat mungkin,” ucapnya.
Percakapan di ruang pemeriksaan itu menguatkan Siti. Namun, hasil tes HIV suami dan anak sulungnya ketika itulah yang membuatnya membulatkan tekad untuk tidak patah semangat. Keduanya diketahui negatif. Siti menemukan harapan baru. Dia memaksa diri untuk disiplin mengikuti program terapi ARV. Siti tidak ingin menularkan virus yang dia idap kepada anggota keluarganya. Termasuk kepada janin di dalam kandungan.
Siti melahirkan anak keduanya secara normal. Persalinan itu mendapat persetujuan dokter karena Siti disiplin meminum ARV sejak umur kehamilan masih sangat muda. Risiko penularan sangat kecil. Siti juga memutuskan memberikan ASI ke bayinya. Ia percaya, dampak terapi ARV yang ia jalani dengan penuh komitmen. Ketika bayi berumur 18 bulan, tes darah membuktikan anak keduanya itu negatif. Siti terus berdisiplin meminum ARV. Seluruh keluarganya juga secara rutin menjalani tes. Tes terakhir sebulan lalu membuktikan suami dan anak-anaknya tetap negatif.
“Saya sangat bangga dengan keluarga saya. Fakta bahwa suami dan anak-anak saya tetap negatif merupakan penyemangat yang luar biasa. Inilah alasan bagi saya untuk membuka diri dan bersuara,” tutur Siti.
Siti memutuskan membuka statusnya pada 2015 lalu. Dia mengikuti gerakan yang digalang Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) dengan mengunggah kesaksian di internet. Ini tahap berikutnya tak kalah menantang. Dia mempertimbangkan betul setiap dampak yang mungkin muncul, termasuk cibiran dan penolakan dari tetangga.
Lagi-lagi Siti berbicara dengan sang suami. Lagi-lagi ia memberikan restunya. Namun, keputusan berani ini baru bisa dijalankan setelah restu dari keluarga besar didapatkan. “Saya hanya ingin membagikan apa yang saya jalani. Saya positif HIV, tapi hidup saya juga baik-baik saja. Saya beraktivitas seperti orang umumnya. Saya membesarkan anak dan mendampingi tumbuh-kembang mereka,” kata Siti.
Siti mengajak agar semakin banyak ODHA yang berani membuka diri. Vonis HIV-AIDS tidak harus menjadi akhir dunia. Namun pada saat bersamaan dia juga menyadari adanya beragam ganjalan yang khas di tiap-tiap lingkungan.
Selain Siti, Toni (50) juga sudah membuka statusnya ke publik sejak tiga tahun lalu. Butuh perjuangan dan pengorbanan yang tak sedikit untuk ke sana. “Namun pada akhirnya saya berpikir, sampai kapan saya mau menyembunyikan status ini dari keluarga? Sampai kapan saya hidup dalam ketakutan dan kecemasan? Sekarang seluruh tetangga sudah tahu status saya dan semua berjalan baik-baik saja,” ucapnya.
Tulisan ini diambil dari Berita di Pikiran Rakyat
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/09/14/siti-maryam-saya-positif-hiv-aids-saya-bicara-409402