“Tidak ada yang salah dengan seseorang yang mendapatkan kekerasan, pelecehan ataupun bully. Yang salah adalah para pelaku serta sistem yang tidak dapat mencegah kekerasan terjadi. ”
“Jadilah diri sendiri !”, Sebuah kiasan klise yang sering kita dengar atau bahkan anjurkan kepada teman untuk dapat mempercayai diri agar dapat mengembangkan potensi. Namun mudahkah bagi kita untuk bukan hanya berbicara, tetapi juga menerima orang lain apa adanya ?.
Saya adalah seorang anak dari keluarga tradisional Jawa yang dibesarkan dengan prinsip kerukunan dan hormat. Dua buah kaidah masyarakat Jawa untuk dapat menjaga sikap tidak menimbulkan konflik serta membawa diri untuk dapat selalu menghormati orang lain. Sikap nrimo atas apapun yang terjadi sepertinya terinternalisasi cukup kuat sampai dengan usia remaja. Masih terpatri kuat masa-masa yang sangat berat di sekolah menengah atas karena pelecehan serta bully yang didapatkan, mengapa ? karena saya terlalu feminin untuk ukuran seorang anak laki-laki. Teringat hal serupa juga terjadi di bangku SD kelas 3, dimana saya pernah dihadiahkan oleh guru sebuah bando untuk dipakai sepanjang mata pelajaran. Belum menyadari bahwa telah mendapatkan pelecehan, saya hanya ikut-ikutan tertawa, karena teman-teman serta guru pun tertawa. Namun tidak ada yang lucu untuk ditertawakan ketika hal tersebut terjadi di bangku SMA, masa pubertas, masa yang rentan ketika tekanan terjadi. Saya menutup diri, sampai yang terburuk adalah menstigma serta menyalahkan diri sendiri. Tapi tahukah kamu, bahwa tidak ada yang salah dengan seseorang yang mendapatkan kekerasan, pelecehan ataupun bully. Yang salah adalah para pelaku serta sistem yang tidak dapat mencegah kekerasan terjadi.
Tidak adanya pendidikan di sekolah yang memberikan pemahaman mengenai orientasi seksual serta identitas gender berdampak buruk kepada rasa percaya diri LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender) remaja di Indonesia. Hal ini dinyatakan dalam Laporan Nasional LGBT di Indonesia, sebuah tinjauan dan analisa partisipatif yang dilakukan di tahun 2013. Stigma serta diskriminasi menutup diri remaja LGBT, termasuk remaja LSL (lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki lain) yang merupakan salah satu kelompok kunci dalam strategi penanggulangan HIV di Indonesia. 2.5 % prevalensi HIV pada kelompok LSL ditahun 2009 menaik drastis menjadi 7,4 % di tahun 2013, dengan banyaknya temuan kasus baru pada usia remaja. Di tahun yang sama, mantan Mentri Kesehatan Ibu Nafsiah Mboi pun pernah menjelaskan bahwa stigma negatif yang melekat pada golongan homoseksual semakin mempesulit pemerintah untuk menjangkau mereka agar bersedia melakukan tes HIV/AIDS. Sangat masuk akal apa yang beliau sampaikan. Bagaimana mungkin program serta intervensi dapat diterima dengan baik pada kelompok yang menutup diri ? .
Mari kita kembali ke sistem. Berapa lamakah kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk menciptakan sebuah sistem masyarakat yang bersahabat kepada homoseksual ? 5 tahun ? 15 tahun ?. Saya tidak bisa membayangkan prevalensi HIV yang akan menaik jika kita menunggu selama itu. Disisi lain, apakah kita sudah yakin bahwa LGBT di Indonesia sudah bersahabat dengan dirinya sendiri ?. Sebuah pendekatan sensitif orientasi seksual dan identitas gender diperlukan dalam strategi penanggulangan HIV di Indonesia. Bukan hanya pengetahuan kondom yang kami perlukan untuk bisa memberdayakan diri melakukan perilaku hidup sehat. Kami butuh lebih dari pada itu. Kami butuh mengenal diri kami, identitas kami, menerima diri kami seutuhnya untuk dapat melindungi diri nantinya.
Pic by Google
Credit to Setia Perdana