Alin berumur 36 tahun, bekerja dan aktif di salah satu LSM terkait HIV AIDS di timur kota Jakarta. ODHA Positif dan Penyintas KDRT juga seorang ibu dari tiga orang anak. Di sela-sela kesibukannya menggalakan isu HIV AIDS ia tetap berusaha meluangkan sedikit waktunya membantu pekerjaan sekolah anak-anaknya. Sejak terdiagnosa, mengalami liku-liku kehidupan sebagai ODHA, Alin sempat putus asa. Di IPPI lalu ia menemukan dirinya kembali, sambil menjaga ‘cahaya’ penyemangat berpendar dari ketiga anaknya. Ini kisah Alin…
Pandemi tidak menjadi kendala asupan obat ARV yang harus diterima Alin (36) berhenti begitu saja meski terhitung sudah lima kali ia putus nyambung mengkonsumsinya sejak terdiagnosa sebagai ODHA 13 tahun silam. Hari-harinya sibuk berkegiatan di salah satu LSM terkait HIV AIDS di timur kota Jakarta, Alin adalah salah satu dari sekian banyak ODHA yang harus berjibaku dengan horor pagebluk yang mengintai, berlomba dengan waktu dan kelangsungan obat kombinasi antiretroviral yang ia konsumsi rutin agar tidak terputus.
Sebelum pagebluk mengamuk dua tahun kebelakang, akses ARV yang didapat Alin biasanya ia dapatkan setiap hari pukul 7 malam, kini kebiasaan itu bergeser ke jam 3 sore. Alin musti pintar-pintar bersiasat, kantor LSM tempat ia bekerja punya kesibukan yang umum ditemui di kota-kota besar. Belum lagi, Alin dikaruniai tiga orang anak yang masih bersekolah, membuatnya putar otak untuk meluangkan waktu (di sela-sela kesibukannya) membantu pekerjaan sekolah anak-anaknya.
Medio 2009 adalah momen Alin tahu dirinya positif HIV, ketika anak keduanya sakit. “Bu, anak ibu ada jamur, ada diare juga, karna ada permasalahan trombosit, ada memar tekanan darahnya rendah, sakitnya ini ada kelainan darah. Ada dua yag diobservasi, leukemia dan hiv. Kalau (tes) yang pertama gagal, negative, HIV- nya yang positif. ” Tutur Alin menirukan percakapan dengan sang dokter kala itu.
Karena umur anaknya saat itu 7 bulan, Alin-lah yang kemudian diperiksa. Alin diarahkan untuk melakukan PCT atau Procalcitonin, yaitu pemeriksaan biomarker dari hormonn calcitonin untuk infeksi bakteri dengan atau tanpa sepsis. Hasilnya, “alhamdulillah” positif.
“Alhamdulillaah” atau tahmid yang berarti “Pujian itu hanya untuk Allah”, sebuah ungkapan rasa syukur yang terucap dari Alin, ketika mengetahui hasil observasi darahnya. Perasaannya berkecamuk. Ia sadar, suaminya yang sudah almarhum seorang pengguna jarum suntik aktif semasa hidupnya. Kali pertama dokter menyampaikan sebuah keharusan dengan dua pilihan kemungkinan penyakit yang hinggap di anaknya, leukemia dan HIV. Dua hal yang tidak pernah terlintas di benak Alin. Diinginkan pun tidak, namun hal tersebut memang menghantuinya selama ini.
“Gua ngerasa hal itu enggak mungkin. Karna gua gak ngapa-ngapain. Dua (saran dokter) observasi itu memang berindikasi kesana (HIV). Terus gak mungkin gua dapet musibah sebesar itu.” Terang Alin yang awalnya tidak begitu peduli dan sadar juga terkait informasi HIV AIDS yang ia pelajari dulu di mata pelajaran IPA, bangku SMP.
Ingatannya masih segar, menerawang ke masa-masa dimana ia menonton film drama romantis A Walk To Remember garapan Adam Shankman, dibintangi Mandy Moore dan Shane West. Kisah anak seorang pendeta yang protektif, karna anak perempuannya menderita kanker darah dan divonis hanya hidup beberapa bulan. Disukai pemuda aneh tidak bermoral namun baik hati, yang berusaha mengabulkan semua daftar keinginan Jamie sebelum ia mati, salah satunya menikah. “Gue tahunya, HIV itu kaya penyakit menular dan belom ada obatnya. Gua ngebayanginnya kaya divonis kanker, mirip banget sama film itu,” tambah alin.
“Gue nangis. Kaya divonis kanker. Elo dikasih tahu kalo hidupnya gak lama.” Ketakutan memeluk erat Alin. Takut hidupnya tidak lama lagi. Terutama mengingat masa depan anaknya jika sewaktu-waktu ia bisa saja meninggal. “Kenapa harus anak terlibat dalam hal ini? ya anaklah, yang paling disedihkan”
Alin mengakui, 13 tahun lalu menjadi masa-masa terpuruknya Alin sepanjang hidupnya.
Dokter yang mendampingi Alin juga menyampaikan kemungkinan-kemungkinan terburuk ketika seorang ibu positif, anaknya juga akan terpapar juga. Benar adanya, anak kedua Alin positif HIV.
Lebaran tahun itu, Alin tak ingin larut dalam kesedihan. Pemeriksaan berkala seperti saran dokter Alin lakukan, salah satunya tes Viral Load yang tarifnya cukup mahal. Saat itu, tes Viral Load hanya bisa dilakukan di RS Dharmais di Jakarta.
Karna biaya tes cukup mahal, atas saran dokter pulalah Alin bergerilya menyebar surat elektronik ke berbagai LSM yang gencar menyuarakan isu HIV-AIDS, tak terhitung berapa alamat email yang surelnya dipenuhi dengan permohonan Alin dibantu fasilitasi menjalan tes Viral Load (jumlah virus HIV). Dan dari sekian banyak pula, hanya satu yang merespon; Yayasan Spiritia yang beralamat di Menteng, Jakarta Pusat.
Lewat sambungan telepon dengan Spiritia, Alin berkomunikasi dengan Mba Hertin. Alin ditanya seputar kronologi bagaimana ia terpapar HIV, dan beberapa pertanyaan lain. Maksud dan tujuan Alin jelaskan, Yayasan Spiritia menyanggupi membantu Alin melakukan tes Viral Load. “Hasil (test) Viral Load keluar, anak pun langsung ARV,” Alin dan anaknya Gina yang juga positif tidak langsung menjalani pengobatan seperti seharusnya. Gina sempat terkena campak rubella dan mengacu pada prosedur, tingkat CD4 (sel kekebalan tubuh) pada saat itu (angka di bawah 350 – 250) tidak lantas membuat seseorang yang mengidap HIV langsung mendapatkan terapi ARV. “Itu zaman dimana belum -30% ke bawah gak langsung ARV, CD4 saya masih di atas (30% +)” terang Alin.
Di masa-masa awal ini Alin sempat putus asa. Melihat kondisi anaknya yang cukup memprihatinkan, Alin pasrah. “Ya Allah, jika memang diambil (anak saya), ambil aja jangan membuat dia menderita seperti itulah.” Kenang Alin.
Tidak lama berselang, keajaiban menyapa anak yang Alin kedua .Tepat di bulan September, setelah anak keduanya terdiagnosa positif, pada bulan Januari 2010, kemudian mendapatkan tes ARV pertamanya. Tidak seperti tumbuh kembang anak seusianya, perkembangan anak keduanya cukup signifikan dalam banyak hal setiap kali setelah menerima terapi ARV.
Dan di bulan Februari, di waktu yang hampir bersamaan, Alin hamil kedua. Mentalnya seketika sempat anjlok. Ada ketakutan, anak yang ketiga juga terpapar virus. Alin mengakui, efek samping program KB suntik membuat kondisi kesehatan Alin sempat menurun. Perasaan takut menggelayuti. Alin terpikir untuk melakukan aborsi, dengan kondisinya saat itu yang sudah terdiagnosa mengidap HIV, ditambah lagi kondisi anak keduanya yang terpapar menjadi dorongan terbesar Alin memutuskan aborsi.
Dari yang ilegal sampai legal. Ada satu syarat yang membuat Alin bertekad mengaborsi anak ketiganya. “Boleh loh aborsi, asalkan kondisi sang ibu atau anaknya tidak sehat.” Tegas Alin.
Di satu-satunya rumah sakit yang sama anak kedua Alin mendapatkan terapi ARV, Alin bersua dokter dan menyampaikan keinginannya untuk aborsi bayi di kandungannya. “Dok, saya ingin aborsi legal,” tegas Alin singkat.
Alasan yang paling mendasari Alin untuk aborsi (dengan kondisi dirinya dan juga anak keduanya saat itu- positif ODHA) semoga bisa diterima oleh pihak rumah sakit untuk membantunya aborsi. Di tahun – tahun tersebut kurangnya informasi menambah ketidaktahuan Alin bahwa calon bayi, bisa terlahir negatif meskipun orang tuanya positif HIV. Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan. Salah satu cara penularan HIV adalah penularan dari ibu ke bayinya. Namun hal ini tidak selalu terjadi. Berdasarkan beberapa literatur, penularan HIV dari ibu ke bayi hanyalah sebesar 20-45%. Sedangkan sisanya anak dari ibu yang positif HIV tidak terinfeksi HIV atau non reaktif.
Dalam 20-45% yang menjadi terinfeksi tersebut, infeksi HIV bisa didapatkan saat masih dalam kandungan, saat proses persalinan, maupun saat menyusui. Kemungkinan penularan akan meningkat jika persalinan waktunya lama, ketuban pecah dini, dilakukan pemotongan kulit disekitar vagina untuk memperlebar jalan lahir, viral load ibu tinggi, ibu tidak mengkonsumsi ARV, ibu menyusui dalam waktu lama, atau ibu tetap memberi ASI meskipun bayinya sudah pernah minum susu formula.
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa diminimalkan dengan cara ibu rutin mengkonsumsi ARV, disarankan persalinan dengan operasi caesar, tetap memberikan ASI eksklusif (bila viral load ibu rendah), namun jika bayi sudah pernah diberi susu formula maka sebaiknya ASI tidak diberikan lagi karena ada kekhawatiran perubahan pada saluran cerna bayi yang memudahkan virus HIV masuk ke tubuh bayi.
Adapun jika yang positif HIV adalah ayahnya, ibu dan anak bisa saja tidak tertular dengan jalan ayah mengkonsumsi ARV secara teratur selama beberapa waktu sebelum berhubungan intim, atau bisa juga dilakukan metode sperm washing untuk mencuci sperma sehingga meminimalkan resiko penularan HIV pada ibu. Jika ibu tidak tertular HIV, maka anaknya pun kemungkinan juga tidak tertular.
Bujukan disertai penjelasan medis dari dokter yang menjelaskan bayi dalam kandung bisa terhindar atau tidak tertular HIV. Intinya, dokter tidak menyetujui keputusan Alin untuk menggugurkan janinnya. Seketika Alin tersadar, bahwa aborsi memang bukanlah satu-satunya jalan keluar.
Demi menyelamatkan bayi dalam kandungannya, Alin akhirnya menjalankan terapi ARV perdananya, meski tingkat CD4 dalam tubuhnya belum memberikan sinyal tanda bahaya, yang harus memaksa Alin mulai mengkonsumsi ARV.
Percepat waktu ke pertengahan 2014, kondisi kesehatan Alin menurun drastis. Imbas dari kali ke-5 ia putuskan untuk tidak menjalani terapi ARV. Alin sadar konsekuensinya. Ia terbaring lemah di salah satu bangsal rumah sakit di Jakarta. Kelima kalinya ia memutuskan tidak mengambil terapi ARV, bakteri toxoplasma bersarang di tubuhnya. Lantas kenapa harus sampai nge-drop dulu? Alin beralasan, ia adalah tipe yang suka salah fokus. Dirinya mengaku bahwa selama ini, untuk terapi ARV yang cukup menelan biaya banyak – ia tidak meminta ke orang tua dari almarhum suaminya. Kepada sang ayahlah terkadang Alin terpaksa minta untuk dibelikan obat. Kondisi perekonomian menjadi faktor utamanya. “Giliran ada uang, gak ada waktu. Giliran ada waktu, eh uangnya gak ada. Jadi bolong-bolong. Lagian enggak minta ke orang tua dari (alm) suami. Mintanya ke bokap. Malu. Dan kalau ditolak suka salfok (salah fokus),” ujarnya. Dalam potongan wawancara, figur Ayah kandungnya adalah pahlawan Alin. Ayahnya selalu siap ketika Alin membutuhkan bantuan. Sosok penyokong Alin selama ini.
Rentan terkena bermacam penyakit menjadi resiko yang harus dijalani ODHA. Putus obat ARV bisa memicu kerentanan dalam tubuh seorang ODHA. Bagi Alin, infeksi toxoplasma, terserang beberapa penyakit lain dan berimbas pada kehilangan pekerjaan yang ia nikmati – akibat putus obat ARV menjadi pelajaran yang sangat berharga, “Enggalah, cukup sekali itu saja. Engga mau lagi.”
Perubahan Alin hidup berdampingan dengan HIV pun berdampak positif pada kesehariannya. Ia lebih sering menghabiskan waktu hidup berkomunitas. “Lebih banyak bersosialisasi. Banyak sih perubahannya. Yang terbesar, lebih seneng banget berkomunitas. Komunitas jadi tempat healing aku.
Jika waktu bisa diputar, Alin berujar bahwa dirinya ingin tidak terjangkiti HIVdan tidak pernah berhenti untuk memutus asupan obat ARV. Namun Jalan kehidupannya bercerita lain. Alin kini lebih maksimal beraktifitas. Berjejaring di komunitas IPPI dan tetap bisa Berperan sebagai ibu dari ketiga anak-anaknya.
Harapan Alin untuk anak-anaknya seperti mayoritas orang tua pada umumnya. Ia berharap Anak-anaknya di kemudian hari bisa mandiri, berjuang untuk hidup lebih baik daripada dirinya. “Aku tuh orangnya harus ngelakuin dulu, ngalamin dulu, ngerasain dulu baru nyesel pada akhirnya. Aku gak pengen anak-anak aku seperti aku. Mudah-mudahan anak-anakku kedepannya gak kaya gitu.” harap Alin.
Bekerja di sektor non formal dengan kondisi rekam jejak medis sebagai ODHA, Alin sering diantar berkegiatan oleh anak sulungnya. “Satu anakku saat mengantar tuh suka ngeliat ibunya ketemu temen-temen ODHIV-nya. Informasi-informasi terkait HIV, dia (anak Alin) jadi paham dari situ. Pengen sebenarnya dari hati ke hati ngobrolin soal ini ke Abanga (kakak laki-laki dalam bahasa Melayu-red).” Lanjutnya, “Bunda sama kakak harus ke rumah sakit tiap bulan ngambil obat ARV,” Alin ingin anak sulungnya sadar akan pentingnya keterbukaan informasi berkenaan dengan HIV AIDS yang bersarang pada tubuhnya dan adiknya. “Di umur-umur remaja, dengan pergaulan saat ini aku pengen dia paham sedari dini,” ungkap Alin. Tanggapan anak sulung Alin justru berbeda, dia tidak ingin menelisik jauh tentang HIV-AIDS secara teoritis saja. Anak sulung Alin lebih memilih untuk ikut menemani ibunya berkegiatan di LSM HIV AIDS. “Dia lebih care ke adiknya yang positif. Contohnya pas lagi di luar adiknya lupa minum obat. Malah dia yang panik dan mengingatkan. Dia yang lebih aware. Dia yang lebih ngurus adik-adiknya.”
Kesibukkannya bekerja, menjadi ibu rumah tangga, aktif bergiat di isu / komunitas-komunitas khususnya IPPI per 2011-2012 yang diisi perempuan-perempuan positif HIV – AIDS mampu mengalihkan perhatian dan fokus Alin, meski statusnya sebagai ODHA dan sempat terhitung 5 kali terapi ARV yang dijalaninya mengalami putus nyambung berkala, semangat hidupnya tetap elan.
“Sebelumnya, saya hanya menerima bantuan. Sebagai reseptor. Hanya menerima informasi. Sekarang (disaat mulai) berkegiatan di IPPI saya ingin berbuat lebih. Berkontribusi. Membuat pelatihan-pelatihan, aktif di isu HIV dengan beragam kegiatan di dalamnya.” Lanjutnya, “sebagai kepanjangan dari IPPI. Mulai memberi bantuan dan informasi.”
Disinggung penanggulanan HIV AIDS dewasa ini, Alin termasuk golongan ibu-ibu baru mengetahui dirinya terkena HIV AIDS karna anaknya yang sakit. Alin tidak ingin hal tersebut terulang lagi, dialami oleh ibu-ibu lain yang kurang teredukasi. Terdorong dari hal ini pulalah Alin berusaha memberikan penyuluhan serta informasi sebanyak mungkin kepada khalayak luas. “Informasi yang tepat, benar dan update. Agar bisa terhindar. Mencegah. Dan bagi yang negative bisa benar-benar menghindari. Bagi yang sudah terinfeksi jadi lebih paham harus melakukan apa.”
Peran aktif semua pihak khususnya pemerintah sangat diperlukan dalam perluasan informasi terkait HIV AIDS. Penuh daya dan upaya, Alin ingin agar orang yang sudah terlanjur terkena HIV – AIDS pun semakin sadar langkah-langkah yang tepat agar orang tersebut tidak menularkan ke orang lain serta pengobatan ideal yang harus segera dilakukan. “Layanan public perlu ditingkatkan terkait isu HIV AIDS ini. Bisa diakses oleh banyak orang. VL detect perlu sekali. Akses layanan informatif, update dan nyaman tentunya. Masyarakat umum jadi paham sepaham-pahamnya. Apa saja perilaku yang rentan beresiko terkena HIV AIDS.”
Bergabung di IPPI menjadi kekuatan tersendiri bagi Alin. Teman-teman senasib sepenangungan mengutip kata Alin. Ia kini memiliki ruang eksplorasi. “Untuk melihat ke atas, ke kiri, ke kanan, ke bawah,” Alin melanjutkan, “Di IPPI ada cerita-cerita yang jauh lebih sedih, dari yang awalnya ngerasa paling sedih sendirian, di sana (IPPI) jauh lebih banyak.” IPPI bagi Alin bukan sekedar komunitas melainkan tempat pembelajaran hidup. Membuka kacamatanya selebar mungkin dan yang terpenting, membuat Alin tersadar apa yang berat untuk dirinya belum tentu berat bagi orang lain. Begitupun sebaliknya. “Di komunitas IPPI itu healing banget, kalau di rumah lagi gimana gitu. Terus kesana ketemu banyak orang bisa refresh. Berasa kaya punya geng cewe,” ungkap Alin.
Di IPPI, Alin bisa merasakan nikmatnya berbagi banyak hal positif untuk orang banyak. Hal ini menjadi pengalaman berharga bagi seorang Alin. Salah satunya pengalaman KDRT yang juga sempat dialami Alin, bisa ia bagikan ke teman-temannya di IPPI. Alin semakin sadar bahwa KDRT di sebuah keluarga sangat berdampak negatif lewat sebuah seminar yang sempat dihelat oleh IPPI. “Bagaimana KDRT itu bisa efeknya buruk buat anak kecil, si pelaku terlebih. Bagaimana car men-stop kebiasaan. Harus ada tindakanlah. Kalau dibiarin jadinya kebiasaan. Ada yang terburuk, si korban justru merindukan kekerasan.”
Kasus KDRT Alin untungnya tidak berlarut-larut. Modal Alin adalah sabar dan perlu adanya tindakan. Meskipun prosesnya cukup panjang sampai kemudian pada suatu momen Alin memberikan efek jera dengan melayangkan surat laporan pengaduan KPPPA atas perlakuan kasar yang dialaminya. Sosok yang sering berperilaku kasar kepada Alin tidak lain adalah mendiang suaminya. Suaminya berubah setelah Alin mengajukan aduan. Semenjak itu sang suami mulai bisa mengontrol emosinya. Tidak lagi ringan tangan. Hingga akhir hayatnya, ketika mendiang suami Alin mulai sakit-sakitan, Alin tidak pernah beranjak dari sisi suaminya sampai sang suami menutup mata selamanya.
Satu hal pula yang membuat Alin konsisten berjuang di isu HIV-AIDS, keinginannya agar ketika anak-anaknya dewasa kelak , stigma dan diskriminasi terhadap ODHA tidak selalu negatif seperti apa yang dialami oleh Alin sendiri. “Dulu salah satu motivasinya, yaitu. Ingin berkontribusi menmyiapkan dunia lebih baik untuk anak gue. Atau anak-anak yang lainnya.” Alin ingin dunia jauh lebih ramah kepada ODHA, khususnya anak-anak. Berharap kontribusinya saat ini bisa menuai hal baik kedepannya.
Bagi Alin, tidak terpikir bahwa dirinya akan mencapai usia 40 tahun, apalagi 50 atau 60 dst. Quotes dari facebook Mario Teguh sang motivator untuk sekedar menguatkan hari-harinya, kini tidak lagi ia lakoni semenjak ia berkecimpung di IPPI. Motivasi yang timbul di sebuah tempat dimana para perempuan positif saling menguatkan satu sama lain. Tidak perlu lagi menyembunyikan status nya sebagai ODHA (sebelumnya, saat bekerja di sector formal ia sering menutupi status nya). Lebih menjadi diri sendiri dan terbuka, Alin semakin yakin bahwa jika kesehatan mental dan raga tetap terjaga baik (meski dalam kondisi positif ODHA), dia menyadari harus melakukan sesuatu jika ingin tetap hidup beberapa tahun lagi. Salah satunya berada di lingkungan yang mendukung dan melakukan apa saja yang bermanfaat untuk dirinya dan orang banyak. Dengan penuh harap, Alin masih ingin melihat ‘cahaya’ yang berasal dari anak-anaknya tetap berpendar, melihat mereka tumbuh sehat. Kekuatan yang selalu menguatkan Alin sampai detik ini adalah anak-anaknya.
Di penghujung wawancara ada tiga pesan, yang Alin bagikan. Pertama bagi teman-teman yang sudah tahu status HIV – AIDS nya namun masih belum mau melakukan pengobatan, “segera ARV-lah. Kesehatan itu adalah hal paling mahal yang diberikan oleh Tuhan ke kita. Prioritas utama itu adalah sehat. Lo banyak uang gak akan ada gunanya kalo lo sakit. Sadar dulu akan kesehatan, jangan hilang kesehatan baru lo menyadari apa itu sehat. Karna kalo lo sehat, lo akan bisa ngapa-ngapain.” Lalu pesan yang kedua tentang memberanikan diri untuk memulai terapi ARV, “untuk kesehatan ODHIV, banyak cari tahu informasi tentang ARV. Kenapa kita harus ARV. Gue yakin kalo lo cari tahu ARV dan tahu manfaatnya akan bikin lo (terapi) ARV. Cari tahu sebanyak-banyaknya. Gue yakin lo gak mau ARV karna lo belum tahu. Coba buka mata lo, buka hati lo, lihat mereka yang sudah terinfeksi dan lihat mereka yang normal-normal saja bahkan jauh lebih baik setelah ARV, baru putuskan untuk ARV!” “Terakhir buat temen-temen ODHIV yang sudah menjalankan ARV, jangan sampai putus obat.” Tutup Alin.
Sebagai seorang penyintas KDRT, Alin juga membagikan pesan agar siapa saja yang sedang berada di lingkungan kekerasaan rumah tangga saat ini unutk segera mencari bantuan. Tidak menanggungnya sendiri. Cari bantuan yang kompeten untuk mencari solusi. Jangan membiarkan hal yang bisa berdampak buruk dan meluas ke hal-hal lain. Jangan berdiam diri, bertindak sekarang juga.
“HIV sejatinya bisa teman-teman semua anggap seperti penyakit kronis lainnya. Tolong jangan dieksklusifkan atau dikucilkan. Seperti Covid, baik yang terkena atau tidak, mudah-mudahan kedepannya kita semua (masyarakat) bisa hidup berdampingan dengan ODHA” – Alin.
Sumber: Podcast Perempuan Berdaya 39. “Inspirational Woman” | Alin: Berkomunitas dan Berorganisasi di Isu HIV merupakan Salah Satu Obatku untuk Cepat Pulih
Teks : Franco Londah