Lilis saat ini berdomisili di Depok, dirinya memiliki tiga orang putra. Putra paling besar berusia 20 tahun, putra kedua berusia 17 tahun, dan yang ketiga berusia 9 tahun. Lilis terinfeksi HIV di tahun 2007, saat itu dirinya adalah ibu rumah tangga yang tidak terfikir akan bisa terinfeksi HIV. Di awal th 2007, almarhum suami yang yang pertama mulai sakit, seperti diare, jamur dan Tubercolosis. Saat itu dirinya tidak tahu bahwa kondisi suami sudah menuju tahap AIDS. Akhirnya dia berobat ke klinik swasta dan karena setiap bulan berobat ditempat yang sama, klinik menyarankan untuk melakukan tes HIV. Sayangnya di tahun 2007 Depok belum ada untuk tes HIV, jadi mereka harus melakukan pemeriksaan HIV ke Prodia dan hasilnya menunggu selama 10 hari dan biayanya Rp 250.000.
Saat menunggu hasil tes keluar, suami kembali drop dan sempat dirawat di rumah sakit Fatmawati. Sayangnya perawatannya tidak maksimal, kondisi semakin menurun dan meninggal dunia. Karena ada prosedur bahwa semua pasangan juga harus diperiksa, Lilis pun diperiksa juga dan hasilnya dirinya juga terinfeksi HIV. Sukurnya kedua anaknya tidak terinfeksi. Di masa awal itu, Lilis diharuskan mondar mandir rumah sakit setiap hari untuk melakukan pemeriksaan awal sambil mengurus anak dan menjadi orangtua tunggal. Di tahun 2010, kondisi Lilis menurun dan jumlah CD4nya hanya 10 digit.
Beruntungnya, sang ibu sudah mengetahui kondisi tersebut sehingga Lilis tidak merasa sendirian dan tetap mendapat dukungan. Selama proses beradaptasi Lilis berusaha mendapatkan informasi dari internet, tapi sayangnya kontak person salah satu LSM di Indonesia tidak bisa dihubunginya. Di tahun 2010 itu juga Lilis mendapatkan perawatan intensif dan memulai terapi ARV tanpa dikonseling sebelumnya. Dia ingat betul satu pesan yang ditanamkan dari dokter “semoga efek samping dari obat ini berkurang” dan itu berhasil pada dirinya. Sesudah mengetahui kondisi HIV pandangannya kemudian berubah dan dirinya tidak lagi merasa sendiri, dia kemudian mendapatkan kesadaran bahwa orang dengan HIV lebih dari sekedar orang yang penyakitan. Lilis kemudian juga merasa sangat bersyukur dan berdamai dengan situasi HIV, karena dia mendapat dukungan dari keluarga.
Perihal pernikahan, Lilis sempat berfikir berulang kali untuk menjalin hubungan dan berkomitmen. Setiap kali dirinya memiliki hubungan, dan ada yang mau menikahinya Lilis selalu memutuskan untuk menyudahi hubungan tersebut. Alasannya sesederhana dia masih tidak mengerti tentang HIV. Lilis kemudian bertemu dengan suami kedua di KDS. Lilis berpikir jika berhubungan dan menikah dengan orang yang sama sama positif HIV pasti lebih aman. Lilis kemudian menikah tahun 2011 dan dari pernikahan tersebut mereka memiliki anak dengan program pencegahan dan anak mereka terlahir sehat.
Lilis dan pasangan memiliki prinsip bahwa perencanaan kehamilan hingga anak lahir menjadi tanggung jawab berdua, sehingga dalam menjaga dan menjalani proses kehamilan keduanya memiliki peran penting. Bahkan saat bulan kedelapan sebelum melahirkan, dokter sempat menanyakan pilihan bentuk kontrasepsi yang akan digunakan nantinya setelah melahirkan dan keputusan tersebut diambil bersama oleh Lilis dan suami. Beruntungnya saat itu Lilis dibantu oleh dokter dari Cinere untuk membuat Jampersal. Sehingga seluruh biaya persalinannya dapat ditanggung bahkan sampai anak berusia empat puluh hari.
Lilis mengakui sempat memiliki ketakutan saat mau melahirkan. Dirinya takut sang anak nanti akan bernasib sama dengannya. Tapi alhamdulillah saat hasil tes anaknya keluar ternyata hasilnya negatif. Itu semua berkat kerjasama dan komunikasi antara Lilis dan pasangan yang betul betul merencanakan kehamilannya dengan baik.
Perihal stigma dan diskriminasi, Lilis mengakui selalu memberikan informasi dan penguatan kepada ketiga orang puteranya secara lengkap dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Karena dirinya dan pasangan sama sama berkondisi HIV meka Lilis merasa penting untuk menjaga hal tersebut. Lilis mengaku lega karena anak-anaknya agak cuek dan tidak terlalu memusingkan hal tersebut. Lilis juga memberi penguatan bahwa sebagai sesama manusia harus memperlakukan orang lain, seperti kita yang ingin diperlakukan. Jadi Lilis juga memberi tahu mereka kalau kita tidak mau diperlakukan seperti itu kepada orang lain, kita jangan memperlakukan orang lain seperti itu.
Lilis mengatakan saat tahun 2007-2010 dirinya berpikir tidak akan melihat anak pertamanya duduk di bangku SMP atau bahkan mati lebih cepat. Tapi ternyata Lilis mendapat kesempatan hidup kedua untuk jadi lebih baik. Dirinya tidak ingin perempuan lain atau anak muda lain yang terinfeksi karena ketidaktahuan penularan HIV dan pengobatannya. Lilis ingin memberi tahu kepada anak- abak lakinya untuk menjadi orang yang bertanggung jawab. Dan memperlakukan perempuan seperti mereka memperlakukan sang ibu, penuh rasa hormat.
Kepada teman – teman perempuan dengan HIV di luar sana Lilis menyampaikan tentang pentingnya menghargai hak asasi orang lain, untuk mencintai diri sendiri dan menyiapkan diri agar tetap sehat dan memiliki pasangan yang bisa saling menerima satu sama lain. Dengan begitu sesama pasangan akan saling mendukung dan pentingnya ada keterlibatan pasangan yang menyenangkan.
Dan Untuk perempuan-perempuan dengan HIV di luar sana Lilis berharap mereka tetap bisa semangat, dan bisa melewati masa-masa sulit karena kita semua perempuan-perempuan terpilih. Karena menurutnya kita diberikan virus ini (HIV) itu bukan cobaan, baginya ini adalah anugrah. Dengan virus ini Lilis bisa belajar tentang kesehatan, bisa mengenal perempuan perempuan hebat