Arfianti terinfeksi HIV sejak tahun 2005 di Kota Makassar, saat itu Anti tidak mendapat konseling di awal karna dirinya ingin ke luar negeri menjadi tenaga kerja asing di Jepang. Salah satu persyaratannya adalah pekerja tidak boleh hamil dan tidak boleh punya penyakit jantung. Sehingga ada pemeriksaan darah yang diambil, dilakukan juga untuk pemeriksaan HIV tanpa Inform Consent. Petugas pengambil darah di klinik yang bekerja sama dengan perusahaan yang mengatur para calon tenaga kerja pun tidak memiliki sopan santun. Petugas, menyampaikan bahwa darah Arfi kotor dan mempertanyakan apakah Arfi menggunakan narkoba.
Betul, sejak SMA saya menggunakan narkoba. Tapi kebanyakan orang berfikir bahwa dirinya tertular dari pasangan. Di Makassar, tahun 2005 stigma dan diskriminasi masih sangat buruk. Terlebih lagi bagi Arfi yang mana adalah seorang Bugis totok dimana label perempuan HIV padahal dirinya belum menikah. Kasus Arfi dapat dianggap aib oleh masyarakat.
Arfi berkisah setelah dirinya mengetahui hasil positif, dia melakukan pemeriksaan ulang di rumah sakit yang lain. Saat amplop hasil diterima dia langsung membuka sendiri dan membaca bahwa hasil antibody nya reaktif. Ada pertanyaan besar dalam dirinya ‘oh my god kenapa saya positif HIV’. Arfi membutuhkan waktu untuk menerima situasi ini, ada masa masa kelam dimana dirinya sempat menyayatkan besi penyanggah obat nyamuk ke pergelangan tangan. Dia mengaku menjalani sesi terapi dengan psikiater dan bantuan obat – obatan di pagi dan malam untuk memperbaiki kondisi psikologisnya.
Arfi mengaku tidak langsung menjalani terapi ARV dikarenakan CD4nya masih sangat tinggi. Saat itu aturan kementerian kesehatan menyebutkan bahwa CD4 pasien harus di angka 200 atau di bawahnya baru bisamendapatkan terapi tersebut. Saat itu kondisi keluarga Arfi juga sedang dalam situasi sulit dimana sang ayah baru mengalami kebangkrutan, jadi Arfi harus belajar menjadi pribadi yang lebih mandiri. Arfi baru menjalankan terapi ARV pukul 2007 dan disaat itu juga dirinya memutuskan untuk menambah wawasan soal HIV yang masih sulit untuk diakses. Arfi bahkan harus ke warnet dan toko buku untuk mendapatkan lebih banyak informasi HIV
Ada kekuatan sebesar nuklir berupa dukungan dari orangtua dan keluarga, yang membuat Arfi bangkit dan bertahan untuk tidak menyerah. Ibu dari Arfi pernah menyampaikan ‘sekalipun engkau saya mandikan seluruh lautan di Kab. Selayar kamu tetap anak saya’. Yang berarti apapun yang terjadi, sang ibu akan tetap menerima apapun yang terjadi pada dirinya sehingga Arfi tidak punya alasan untuk menyerah, dia harus bangkit dan melawan stigma diskriminasi.
Ada sebuah kejadian yang Arfi tidak pernah lupa, pada saat dirinya menjadi pembicara di kegiatan Komisi Penanggulangan AIDS di Sulawesi Selatan. Ternyata salah satu pegawai negeri yang berada di acara tersebut adalah salah satu anggota keluarganya yang menyebabkan kondisi HIV Anti terbongkar di satu pulau. Yang akhirnya harus membuat Arfi semakin menguatkan fondasi dirinya utk tidak down.
Arfianti memilih untuk memberikan stigma pada diri sendiri dan sebaliknya, memberikan informasi dan inspirasi kepada yang lainnya bukan Cuma sekedar testimoni ya. Dia berfikir sampai kapan stigma dan diskriminasi terpelihara di Negara ini. Dirinya menginginkan adanya perubahan, jangan ada lagi orang yang mengalami apa yang terjadi pada dirinya.
Arfianti menikah dengan seorang pecandu narkoba dan harus melaksanakan program rehabilitasi di Bandung yang mengharuskan mereka harus pindah dari Makassar. Namun di saat yang bersaam Arfi juga ditawarkan pekerjaan untuk menjadi pendukung sebaya di bawah organisasi Spiritia namun di wilayah Palu. Tepat di hari kelahirannya, Arfi memutuskan untuk pindah ke Palu. Keputusan kepindahannya merupakan salah satu hal baik, karena situasi dan kondisi di Makassar sudah tidak kondusif karena banyak kawan yang masih mengajak Arfi kembali menggunakan Narkoba.
Pada saat itu, Arfi ditempatkan di Donggala. Kala itu dirinya sempat bingung akan perubahan kebiasaan dan budaya di tempatnya tinggal. Beruntungnya, warga Donggala sebagian besar banyak yang warga Bugis, sehingga itu memberikannya kemudahan untuk melakukan kerja kerja pendampingan di layanan kesehatan. Di Palu Arfi belajar untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, selain karena jauh dari keluarga. Arfi memutuskan untuk berumbuh menjadi orang yang lebih dewasa, mandiri, tidak cengeng. Dia juga belajar memasak dan tentunya begitu banyak hal yang bisa dipelajarinya di sana.
Arfi mengenal IPPI waktu masih di Makassar, dirinya bercerita bahwa dia pernah mengikuti salah satu pelatihan public speaking di Bali. Namun baru berkesempatan bergabung saat berada di Palu. Saat itu di sana ada sahabatnya yang meninggal karena kanker Rahim, dan Ari berusaha mencari apakah ada organisasi perempuan yang bisa membantu. Dari sanalah Arfi memutuskan untuk menjadi penggerak IPPI di Kota Palu lebih luas lagi provinsi Sulawesi Tengah.
Pada 28 September, sata bencana Tsunami terjadi Arfi memang ada rencana untuk mengajak teman – teman di organisasi untuk kemping sambil mengajar di pesisir Valenta Donggala. Karena itu hari Jum’at, dirinya memutuskan untuk berangkat sebelum Shalat Jum’at bersama sang kawan. Di tengah perjalanan sekitar pukul tiga sore, terjadi gempa dan pusatnya ada di Donggala. Arfi berusaha mencari informasi pada warga di sekitar namun dia tidak dapat memahami karena orang – orang menggunakan bahasa daerah. Tapi karena sudah hampir tiba di sana Arfi memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, dia merasa bahwa dirinya adalah satu – satunya guru perempuan di Valenta.
Pada saat Maghrib, tanah mulai bergerak seperti gelombang; di atasnya kami semua seperti balon yang mulai beterbangan. Gempa kembali terjadi dengan kekuatan 7,4 SR. Arfi sempat berfikir hari itu akan terjadi kiamat, karena di depan matanya dia melihat atap rumah hancur, rumah rubuh, dan semua orang mengumandangkan adzan. Kami membatalkan rencana mengajar dan memulangkan semua anak – anak, karena setiap detik gempat terasa semakin kencang. Semua orang mulai menyelamatkan diri termasuk Arfi yang diminta oleh Yoyo sang ketua rombongan untuk naik ke atas gunung. Arfi bahkan masih sempat membawa dua orang yang mereka temui di perjalanan ke atas gunung.
Di atas gunung, perut Arfi keroncongan tapi tidak ada makanan dan minuman sama sekali; tapi yang paling penting Arfi membawa ARV-nya. Dia ingat masa menjadi anggota pramuka semasa kecil dulu bagaimana bertahan hidup. Saat pagi tiba dan gempa sudah berhenti, Arfi memutuskan kembali ke Palu. Banyak orang sekitar yang Arfi temui mengatakan bahwa ada jembatan runtuh dan banyak yang meninggal karena ini bukan hanya gempa, melainkan tsunami. Dengan mengandalkan motor butut milik kawannya Yoyo, mereka kembali ke Palu dengan modal selembar uang dua puluh ribu rupiah.
Tiba di Palu, banyak jenazah ditutupi kain di pinggir jalan, ditandu untuk dimakamkan. Saat itu Arfi tidak boleh melewati area pantai Talisi karena area di sana ahncur terhantam Tsunami. Karena uang di tangan Arfi sudah habis, dia diantar sampai rusun tempatnya tinggal. Rumah susun tersebut sudah tidak boleh dimasuki karena sudah hancur dan berpotensi runtuh jika dimasuki. Tapi Arfi bingung, dia harus masuk ke dalam karena semua harta benda miliknya selama dia tinggal di Palu berada dalam rusun tersebut.
Arfi yang pasrah memutuskan untuk tetap berada di sekitar Rusun dan bermalam beratapkan langit, sesekali juga Anti main bersama anak – anak yang selamat karena baginya itu seperti trauma healing. Lalu Arfi bertemu dengan Riki yang sempat menyelamatkannya saat Gempa terjadi, Riki mengajaknya ke rumahnya untuk membersihkan diri juga mendapatkan makan dan paling tidak dirinya bisa tidur nyenyang barang sekejap.
Saat kondisi Arfi sudah sedikit lebih tenang, dia ingat akan ARV-nya yang tentu akan menipis stoknya. Bagaimana dengan teman – teman yang lain? Lalu kemudian Arfi pergi ke RS untuk melihat kondisi ketersediaan. Saat itu sudah tentu rumah sakit habis diterjang tsunami dan ambruk karena gempa. Arfi juga mulai mengumpulkan kawan – kawan dengan HIV yang masih hidup. Dengan bermodalkan ingatan, dia menyusuri satu persatu rumah kawan yang dulunya pernah didampinginya. Setelah berkumpul dengan orang – orang yang masih tersisa, dirinya bekerja sama juga dengan pihak layanan membuat posko mobile ARV karena tidak mungkin teman – teman pergi ke rumah sakit yang sudah hancur lebur tersebut. Untungnya bala bantuan segera datang, ARV dari pusat.
Konon, menurut apa yang Arfi ketahui Palu adalah sebuah patahan yang per 100 tahun akan terulang kembali situasi bencana seperti ini jadi memang kita perlu sebuah tindakan kesiagaan seperti bagaimana mengkontak nasional untuk ketersediaan ARV. Bukan hanya tentang uang namun juga bersinergi dengan teman teman ODHA sesuai dengan kebutuhannya. Pengurangan resiko bencana itu harusnya sudah ada di tempat tempat yang rawan seperti Palu ini, tapi Arfi mengaku tidak tahu menahu. Baginya paling tidak kita tahu kemana jalur evakuasi jika terjadi bencana dan bagaimana menyelamatkan diri
Pemerintah juga seharusnya sudah mempersiapkan bukan hanya untuk orang rentan saja tetapi untuk teman-teman ODHA juga. Untuk itu Arfi berpesan, teman-teman ODHA juga perlu bersuara karna yang mengetahui kebutuhan siapa lagi kalau bukan orang – orang yang ada di circlenya. Dan yang peling penting bukan hanya pada saat bencana terjadi, namun sebelum dan pasca bencana tersebut terjadi.
Untuk masalah open status HIV di masa bencana Arfi mengaku itu adalah hal yang sulit untuk dijawab. Karena yang paling penting pertama adalah menyelamatkan diri. Yang kedua meskipun memang ada komunitas yang akan membantu pada saat situasi seperti itu; selain saya yang bisa membagikan ilmu pengetahuannya dengan teman-teman.
Arfi mengaku melakukan proses penyembuhan dengan membantu lebih banyak orang; dia merasakan kekuatan dalam dirinya bertambah dua kali lipat. Dia bilang karena waktu adalah uang, maka dirinya yang juga dikejar target dua bulan pasca bencana dirinya menjalankan sidang yudisium dan telah bergelar sarjana. Kini Arfi bekerja di LBH APIK dan bersama timnya mereka berfikit tentang bagaimana menghadapi bencana non alam seperti pandemic Covid-19. Pesan Arfi pada semua perempuan dengan HIV di Indonesia adalah tetap menjadi perempuan yang tangguh, ibu yang tangguh. Jangan lupa terus mengkonsumsi ARV karena adalah kebutuhan paling penting sebagai orang dengan HIV. Tetaplah mempunyai cita-cita dan tetap menjadi orang yang baik karna Tuhan tahu apa yang kita lakukan.
Sumber Foto : CNN INdonesia.