Dwi mengetahui status HIV nya tahun 2004. Dia bersahabat juga dengan Rani yang ceritanya juga dicapture oleh IPPI. Dwi berkisah bahwa cerita mereka berdua slaing berhubungan dimana Rani pada kala itu mengetahui terlebih dulu yang tahu soal kondisinya dan Dwi merasa ketakutan sehingga dia memutuskan untuk menghilang atau yang Dwi sebut “kabur”.
Saat Rani menceritakan kepada keluarganya tentang kondisi HIV-nya, Dwi langsung pergi ke rumah sang kakak di Semarang selama satu tahun lamanya. Dirinya bahkn memutuskan untuk menggunakan hijab karena dia memutuskan untuk bertobat. Dirinya mengaku tidak lagi pernah bertemu dengan Rani, karena sang sahabat akhirnya direhabilitasi dan Dwi sendiri berada di Semarang.
Di saat yang bersamaan, salah satu sahabat Dwi dan Rani sakit keras. Ada telfon yang menghubungi Dwi dan menintanya untuk pulang ke Bandung untuk menengok meskipun sayangnya kedatangan Dwi cukup terlambat. Setibanya di bandung Dwi diminta untuk main ke Rumah cemara sebuah organisasi yang membantu pecandu dan orang dengan HIV AIDS untuk pulih. Dia memutuskan untuk datang dan menengok Rani yang masih menjalankan rehabilitasinya di sana.
Kunjungan Dwi ke Rumah Cemara kala itu juga menjadi awal dimana dirinya memutuskan untuk datang ke Class Meeting, kegiatan berkumpul dengan kawan – kawan sesame ex-pecandu. Dalam kegiatan tersebut, Dwi juga bertemu dengan begitu banyak teman yang pernah sama sama menggunakan narkoba. Tahun 2004, Dwi memutuskan untuk melakukan pemeriksaan HIV. Dia mengaku berat badannya masih sangat stabil, 70Kg. Dia tidak percaya dengan tubuh sesehat itu, dirinya bisa terkena HIV selain itu dia mengaku sudah lama tidak menggunakan narkoba; dia sudah berhenti lebih dulu saat teman – teman lainnya masih menggunakan drugs.
Saat itu dirinya melakukan pemeriksaan HIV di Balai Lab Kesehatan yang ada di depan RS Hasan Sadikin. Saat itu belum banyak konselor seperti hari ini, konselor yang menanganinya adalah salah satu pendiri Yayasan Female Plus tempatnya bekerja kini. Setelah mengetahui dirinya HIV, dia sangat terpukul dan sempat mau bunuh diri. Dwi mengaku berteriak – teriak dan lari dari ruang pemeriksaan. Yang ada di pikirannya saat itudia tidak akan bisa punya anak lagi. Dia juga memikirkan bagaimana perasaan sang ibu, bagaimana penerimaan keluarganya. Dwi memasuki fase sulit dalam hidupnya.
Namun dibalik semua kekacauan yang dia rasakan, Dwi akhirnya memutuskan untuk mencari pertolongan dalam kelompok bersama Bandung Plus Support dan Rumah Cemara. Saat itu informasi HIV masih menjadi sesuatu yang sangat langka, stigma dan diskriminasi masih sangat kuat. Tidak aka nada pembicaraan HIV di luar lingkaran – lingkaran kelompok seperti Rumah Cemara atau Bandung Plus Support.
Di tahun 2004 Dwi sempat memulai terapi ARV enam bulan setelah dirinya mengetahui namun dia memutuskan berhenti dan itu yang kemudian membuat kondisinya semakin terus menerus menurun. Meskipun dirinya mengaku depresi dan ingin bunuh diri, tapi Dwi bukan orang yang mellow dan menangisi kehidupan berlarut – larut. Perasan tersebut berangsur membaik setelah dirinya bergabung dalam kelompok. Kelompok dukungan sangat membantunya untuk positive thinking dan yang paling penting dia tidak merasa sendirian.
Saat dirinya jatuh sakit karena putus pengobatan ARV, Isye adalah Manajer Kasus yang menolongnya kala itu. Dan kesakitan tersebut membuatnya kembali mengkonsumsi ARV pada tahun 2006. Satu tahun kemudian Dwi menikah dengan Anton, sang suami pada tahun 2007.
Meskipun sudah mengetahui dirinya HIV, sudah kembali menjalani terapi ARV dan bahkan sudah menikah Dwi mengaku masih nakal dan kerap kembali ke “New York” (istilah yang dirinya gunakan saat kembali menggunakan narkoba). Dwi tidak memutuskan untuk menjalani proses rehabilitasi, ada rasa sungkan dan kekhawatiran dirinya menjalani rehabilitasi. Dia mengaku suka berpura – pura sakit saat akan diajak untuk menjalani rehabilitasi
Dirinya bertemu dengan sang suami saat ada project dari BNN di rumah cemara. Saat itu dirinya dan Anton berada dalam satu produksi pembuatan film tentang Adiksi. Awalnya Dwi berkawan dengan adik dari Anton yang juga sama – sama pecandu seperti dirinya dan Anton. Bedanya, Anton serta adiknya sudah menjalankan terapi Methadone. Saat itu Anton sudah mengetahui dirinya HIV positive sejak tahun 2000. Perkenalan dengan Anton berlangsung cukup singkat, satu sekitar satu tahun delapan bulanan lalu kemudian mereka berdua menikah.
Dwi memutuskan untuk menikah karena merasa kesamaan latar belakang mereka, eks pengguna napza dan sama sama hidup dengan HIV dengan harapan bisa saling menyembuhkan. Namun harapannya tidak sesuai dengan realitas. Karena setelah menikah keduanya sama sama dalam keadaan menganggur tidak memiliki pekerjaan. Kesulitan semakin bertambah tambah saat kondisi sama sama menjalankan pemulihan dari kecanduan, pemulihan kesehatan karena HIV serta tidak memiliki uang.
Situasi tersebut membuat dirinya kembali menghilang. Dirinya adalah tipikal orang yang akan memendam dan ga pernah terbuka. Kalau memiliki masalah apalagi urusan dengan pasangan Dwi akan mennutup mulutnya rapat – rapat. Dirinya mengaku bahwa kekerasan yang kemudian terjadi dalam kehidupan pernikahannya tidak murni hanya dari Anton, tapi juga dilakukan oleh dirinya.
Kondisinya saat itu Dwi tidak bekerja, mengurus anak yang baru dilahirkannya, mereka juga masih mengontrak rumah. Anton yang akhirnya mulai bekerja di perusahaan swasta; di situlah Dwi merasa cemburu pada suaminya, saat itu dirinya memutuskan untuk mengintai sang suami setiap pergi bekerja. Setiap sang suami menggunakan pakaian yang bagus, Dwi pasti menangis tanpa sebab. Kecemburuan – kecemburuan yang tak beralasan tersebut membuatnya menjadi istri yang posesif. Sikap posesif tersebutlah yang kemudian menimbulkan masalah demi masalah termasuk kekerasan.
Sebuah pelatihan di Bali bersama IPPI tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi memberikannya keyakinan bahwa ada sesuatu dalam kehidupan rumah tangganya yang harus diperbaiki. Mbak Fira, salah satu fasilitator kegiatan di bali tersebut yang kemudian dia anggap sebagai pahlawan penolongnya. Mbak Fira bukan hanya berperan sebagai fasilitator namun juga menjadi kawan bicara yang mendengar semua cerita Dwi dengan cukup baik. Mbak Fira juga membantu Dwi menelaah satu persatu trauma masa lalu yang ternyata belum tuntas. Dwi bercerita peran mbak Fira saat itu sangat membantu proses pemulihan dirinya. Dimana terbentuk sebuah kesadaran bahwa jangan pernah membereskan urusan orang lain sebelum kita membereskan urusan yang ada dalam diri kita sendiri.
Sepulang dari kegiatan di Bali, Dwi mengajak sang suami untuk duduk bersama dan berbicara dari hati ke hati. Meskipun tidak berbicara secara gambling di awal, tapi di sanalah mereka mulai memperbaiki cara mereka berkomunikasi dan bersama sama memutuskan untuk saling memperbaiki diri. Mereka sama sama membuat kesepakatan dan berkomitmen untuk saling percaya serta memperbaiki komunikasi dalam rumah tangga. Meski membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar dua sampai tiga tahun berproses namun keadaan berangsur kembali pulih.
Hidup yang Dwi jalani penuh dengan jatuh bangun, begitu banyak pihak yang setia membantunya untuk bangkit salah satunya Rani. Di titik tersebut kemudian dirinya menyadari bahwa keluarga lah yang harusnya menjadi nomor satu. Salah satu perbaikan komunikasi yang dia lakukan adalah dengan cara ngobrol dan menumbuhkan kepercayaan. Kali ini Dwi akan mencari moment yang pas buat berbicara dan setiap persoalan dibicarakan sama-sama.
Di luar sana itu masih banyak perempuan dengan HIV tidak seberuntung Dwi dan perempuan HIV di IPPI yang sudah bisa speak up; kebanyakan dari mereka tidak punya akses dalam informasi bahkan mereka masih berada di dalam lingkaran kekerasan. Dwi berpesan untuk teman – teman jika masih berada di lingkaran kekerasan untuk mencari orang yang tepat untuk menjadi tempat bercerita. Karena menurut Dwi jangan sampai teman yang kurang tepat bukannya membantu malah hanya memperkeruh suasana.
Pada saat situasi memburuk, situasi yang paling baik yang Dwi ambil adalah tidak menyerah. Dan jangan menjadikan anak menjadi alasan untuk memperbaiki keadaan namun berpikirlah demi kebaikan diri sendiri, menurut Dwi. Jadi kalau menghadapi situasi sulit tapi pertimbangannya anak itu jangan sampai terjadi, keluar dari kekerasan tujuan utama menyelamatkan diri. Love yourself first. Dan kita tidak bisa memungkiri kalau pernikahan pasti ada gelutnya, tapi paling penting ngobrol.
Dwi tidak pernah neko-neko, dirinya hanya punya mimpi yang sederhana yakni pingin keluarga sehat, karena suami juga sama-sama positive maka dirinya bermimpi untuk dapat melihat anaknya sampai di jenjang pernikahan. Dwi ingin melihat anaknya tidak kesepian saat tidak ada ibu dan bapaknya.
Untuk sang suami, Dwi mengucapkan terima kasih karena telah menerima segala kekurangan yang ada pada dirinya, menjadi teman hidupnya dan mampu susah senang bersama. Terima kasih karena sudah menjalani kehidupan bersama. Dan untuk temen-temen perempuan dengan HIV yang masih berada dalam lingkaran kekerasan, carilah pertolongan yang tepat. Kamu bisa kontak IPPI, kita bisa bantu teman-teman di daerah agar tidak salah cari pertolongan. Jika masalah terlalu berat, kita bisa bantu teman2 ke forum pengandal layanan kekerasan. Penting untuk melibatkan pasangan dalam proses komunikasi menyelesaikan masalah bersama-saman.