SEBAGAI seorang yang hidup dengan HIV (human immunodeficiency virus), saya menjadi seorang single fighter yang memiliki dua orang anak. Bicara ke muka publik soal status saya, penyandang HIV, butuh persiapan yang cukup matang. Paling tidak, memulainya dari anak saya.
Saya dikaruniai dua orang anak yang luar biasa dari ayah yang berbeda dan sama-sama ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Anak pertama saya, Chessa, berumur 29 tahun dan kini ia sudah menikah. Sementara anak saya yang kedua, Haikal, berumur 7 tahun.
Bagaimana membicarakan soal HIV kepada anak saya yang pertama? Saya menyuruh Chessa untuk membaca semua informasi soal HIV, baik dari internet atau dari manapun. Saya memberinya waktu dalam seminggu, kemudian saya hubungi dia kembali. Apakah kamu sudah baca semuanya dan sudah paham segala macam penularan HIV? Tanya saya kepada Chessa. Ia menjawabnya sudah. Kemudian saya sambung,
“Sekarang saya kasih tahu bahwa saya HIV. Sebelum kamu membaca di media, sebelum kamu melihat saya di televisi. Kamu sudah tahu duluan.” ucapnya.
Chessa adalah anak yang kuat, ia tetap memberi dukungan kepada saya setelah mengetahui bahwa ibunya seorang penderita HIV.
“Siapapun ibu, ibu adalah tetap ibu saja. Siapapun ibu, saya akan mendukung. Saya tidak akan mau menikah kalau suami dan keluarganya tidak terima satu paket dengan ibu saya yang HIV AIDS,” kata Chessa kepada saya.
Chessa mengetahui status HIV saya sejak 2007. Pernyataan Chessa betul-betul menumbuhkan semangat saya untuk bangkit dan maju terus melanjutkan hidup. Bagaikan mengubah langit yang tadinya gelap menjadi bercahaya dengan ratusan bintang. Sementara Haikal, ia belum diberitahu. Ketika nanti ia sudah beranjak dewasa, pastinya akan saya beritahu. Namun, Haikal punya cerita yang berbeda, terutama dari sekolahnya. Haikal hanya mengetahui bahwa ibunya harus minum obat dan tidak terlambat. Ia selalu mengingatkan saya untuk minum obat. Obat ARV, antiretroviral, yang memperlambat pengembangan penyakit saya ini. Pergulatan kembali terjadi. Saya seperti didorong terjerembab menghadapi para orangtua murid sekolah yang tidak menyukai saya sebagai penderita HIV.
Haikal saat itu masih duduk di TK ketika sekolahnya rusuh. Ia dikeluarkan saat orangtua murid sekolahnya mengetahui status saya, Baby Rivona yang mengidap HIV. Padahal, tidak satupun anak saya, baik Chessa maupun Haikal, yang positif mengidap HIV. Apakah semua anak dengan orangtua ODHA harus mendapatkan diskriminasi yang sama? Betapa tidak adilnya dunia ini untuk anak-anak yang harus menanggung diskriminasi dalam mendapatkan pendidikan?
Baiklah, biarkan ini terjadi sekali saja. Jangan, sampai Haikal merasakan kepahitan hidup yang seharusnya tidak ia rasakan untuk kedua kalinya. Maka, saat ia duduk di kelas satu SD, saya mendatangi gurunya.
“Anak ini berbeda. Dia (Haikal) memiliki orangtua yang single fighter dan dia seorang aktivis HIV. Jadi, jika suatu hari saya ada di media dan semua orangtua chaos, anak saya dikeluarkan, saya akan tuntut sekolah ini. Itu hak anak saya untuk mendapatkan pendidikan,” itu kata saya kepada guru Haikal.
Bayangkan saja, anak saya yang tidak positif HIV AIDS mendapat perlakuan diskriminasi. Bagaimana anak teman-teman saya yang HIV positif? Perjuangan mereka untuk anaknya lebih besar daripada saya.
Menyampaikan kepada keluarga
Tidak hanya kepada anak, saya juga menyampaikan status HIV saya kepada keluarga. Saat itu saya sudah bekerja dan menjalani kehidupan sendiri. Memang tidak bersinggungan secara langsung kepada keluarga. Membuka diri kepada keluarga memang tidak semudah itu menerima kedatangan saya. Tapi saya tetap diterima. Misalnya saja saat saya minum dan makan, mereka begitu menjaga jarak. Tak ingin terperangkap dalam kesedihan, saat itu saya berpikir, oke, keluarga saya tidak membuang saya. Namun, melihat mereka tetap menjaga jarak, ingin membuat saya membuktikan sesuatu.
Pembuktian saya kepada mereka, terutama keluarga besar, adalah melalui media massa. Menunjukkan siapa Baby Rivona tanpa ada suatu hal yang ditutupi. Mereka memang mengenal saya tapi, mereka tak pernah tahu siapa sebetulnya saya. Adalah ayah, yang memberikan dukungan dan mengetahui siapa diri anaknya ini. Papa tidak bisa mengubah keadaan. Apalagi yang bisa dilakukannya, melihat anaknya berani
dan melakukan perubahan atas stigma masyarakat. Banyak orang yang menelepon dia dan menanyakan, itukah Baby anaknya yang menggunakan narkotika? Ya, itu adalah anak papa yang berteriak soal dirinya dan menjadi pejuang HIV. Papa bangga atas apa yang perubahan yang saya lakukan. Setelah berani membuka diri di hadapan publik, Baby Rivona tetap menjalani kehidupannya untuk memberi dukungan pada ODHA yang putus asa. Ia punya pemikiran yang lugas bagaimana menghadapi stigma hidup seorang ODHA. Langkah ekstrimnya itu membawa ODHA lain berani membuka statusnya.
Artikel ini diambil dari website Okezone.com https://lifestyle.okezone.com/read/2017/05/17/481/1693306/life-story-3-siapapun-baby-rivona-dia-tetap-ibu-saya