Jakarta, 31 Januari 2023
Perempuan dengan HIV merupakan bagian dari komunitas yang seringkali tidak menjadi prioritas dalam upaya penanggulangan HIV, belum lagi persoalan-persoalan sosial yang mengiringi kehidupannya. Hal-hal tersebut dapat meningkatkan kerentanannya sebagai perempuan dengan HIV, meliputi ketidakmampuannya untuk mengakses layanan kesehatan, memperjuangkan hak-nya serta mendapatkan dukungan yang berkelanjutan. Hal ini sangat berkontribusi pada resiko stigma diskriminasi dan kekerasan. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) merupakan jaringan nasional perempuan yang hidup dengan HIV dan terdampak HIV di Indonesia, Sejak tahun 2021, berkomitmen melaksanakan program penerimaan pengaduan kekerasan pada perempuan dengan HIV
IPPI dalam program penerimaan pengaduan berperan sebagai organisasi intermediary atau penghubung, antara perempuan dengan HIV yang mengalami kekerasan. Perempuan HIV korban dapat menyampaikan kekerasan yang dialami olehnya; lalu dicatat oleh petugas penerima pengaduan; diberikan informasi berkaitan dengan apa yang dibutuhkannya; dan melakukan rujukan jika korban mengambil keputusan untuk menindaklanjuti kasus yang sedang dia hadapi.
Program penerimaan pengaduan kekerasan pada perempuan dengan HIV ini dilaksanakan di 10 provinsi diantaranya; DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Nusa tenggara Timur. Dari total kasus yang masuk, terdapat 72 kasus kekerasan pada perempuan dengan HIV dan 1 kasus menimpa anak dari perempuan dengan HIV.
PROFIL PELAKU & KORBAN
Korban yang datang kepada petugas IPPI sebagian besar datang secara mandiri untuk melaporkan, selebihnya dirujuk oleh pendamping sebaya dan dirujuk dari perempuan dengan HIV lainnya. Latar belakang korban 50% didominasi oleh ibu rumah tangga dan selebihnya merupakan latar belakang pekerjaan lainnya. Usia korban, 99% merupakan usia dewasa dan terdapat 1 orang yang berusia anak; korban merupakan anak dari perempuan dengan HIV yang juga melakukan pengaduan kepada IPPI. Untuk status pernikahan korban, 70% korban berada dalam pernikahan dan lainnya mengaku sudah bercerai dari pasangan mereka dan juga pasangan telah meninggal dunia.
Terkait dengan terapi antiretroviral yang dijalankan oleh perempuan dengan HIV, pada saat melakukan pengaduan; 62 orang mengaku dalam terapi antiretroviral, 9 orang berhenti dari pengobatan antiretroviral dan 2 orang lainnya belum memulai terapi antiretroviral. Berkaitan dengan pelaku, semua korban mengaku mengenal baik para pelaku, sebagian besar mereka adalah orang-orang terdekat seperti suami, Pacar; Keluarga dan hanya sebagian kecil yang diluar hubungan keluarga. Untuk status HIV, terbagi menjadi tiga bagian dimana tiap 30% pelaku ada yang mengetahui kondisi HIV-nya, ada yang belum mengetahui dan selebihnya adalah mereka yang negatif.
SITUASI KEKERASAN
Untuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan HIV, korban mengalami kekerasan berlapis mulai dari kekerasan psikis, fisik, penelantaran ekonomi, seksual, kekerasan berbasis gender online dan yang juga kami catat adalah dalam bentuk diskriminasi. Adapun detail dari jenis kekerasan diantaranya: Kekerasan Fisik (65); Kekerasan Psikis (57), Penelantaran Ekonomi (39); Kekerasan Seksual (13); Kekerasan berbasis gender online (7) dan diskriminasi (5). Sehingga pada saat kami menganalisis ranah pada keseluruhan kasus, 68 korban mengalami kekerasan di ranah privat/domestik, 6 korban mengalami kekerasan di ranah publik dan 5 di ranah negara.
Namun yang paling miris adalah, Sebanyak 13 korban mengaku mendapatkan kekerasan dari pasangan jika tetap melanjutkan pengobatan ARV nya; tindakan-tindakan tersebut diantaranya akan diusir suami; diancam ditinggalkan suami; tidak diijinkan untuk ke layanan kesehatan untuk mengambil ARV; ARV korban dibuang dan diinjak-injak; ARV dihancurkan; tidak diberi uang jika uangnya untuk mengambil ARV; diancam akan disebarluaskan status HIV-nya jika tetap minum ARV; mengatakan bahwa ARV bisa mengakibatkan tuli, sakit ginjal, gila dan idiot.
Selain larangan untuk minum ARV oleh pelaku, 2 orang korban tidak bisa melanjutkan pengobatannya karena tidak memiliki biaya untuk mengakses ARV, termasuk transportasi dan biaya rumah sakit. Larangan – larangan ini disebutkan oleh beberapa korban adalah bentuk penolakan atau penyangkalan dari pasangan akan status HIV yang diterima mereka; pelaku kerap menolak untuk memeriksakan dirinya saat mengetahui pasangan mereka didiagnosa HIV. Mereka menganggap bahwa HIV tersebut tidak mungkin berasal dari dirinya, yang juga mengakibatkan tuduhan-tuduhan penularan HIV disebabkan oleh istri atau kemudian label bahwa mereka bukan perempuan baik-baik atau perempuan nakal.
Ancaman dan tindakan pembukaan status HIV juga dilakukan pelaku kepada korban. Dimana ancaman dilakukan untuk disebarkan melalui media sosial seperti facebook hingga aplikasi percakapan whatsapp. Tindakan ini tidak hanya dilakukan oleh pasangan (suami atau pacar); tapi ada juga dilakukan oleh teman dan keluarga korban. Pada beberapa kasus hal ini dilakukan pelaku sebagai salah satu bentuk ancaman ekonomi agar korban dapat memberikan uang (berhubungan dengan kasus penelantaran ekonomi). Kekerasan berbasis online juga menjadi salah satu yang paling sering muncul dan diadukan oleh perempuan dengan HIV. Kekerasan berbasis online ini paling banyak meliputi ancaman pembukaan status HIV korban; hingga ancaman penyebaran foto mesra; foto korban tanpa busana; serta foto dan video pribadi korban dengan pelaku saat berhubungan seksual.
DAMPAK DARI KEKERASAN
Kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan HIV memberikan dampak yang sangat merugikan baik secara fisik, psikologis, seksual, ekonomi hingga politik. Dampaknya tidak hanya satu namun, dampak berlapis dialami oleh korban. Dimana dampak terbesar yang kami tangkap dari seluruh pengaduan perempuan dengan HIV adalah dampak psikis (72 orang); dampak fisik (49 orang); dampak ekonomi (23 orang); dampak seksual (15 orang) dan dampak politik (1 orang).
Dampak Psikis ini, memberi kontribusi dampak terbesar bagi perempuan dengan HIV yang berhadapan dan mengalami kekerasan pada dirinya, serta harus tetap mengelola dan menjaga kondisi kesehatannya karena mereka adalah perempuan yang hidup dengan HIV. Rasa sedih, cemas, takut hingga depresi dan trauma membuat korban akan kehilangan kepercayaan diri, kehilangan keyakinan untuk merawat anak mereka juga dirinya hingga yang terburuk adalah tendensi untuk melakukan upaya bunuh diri.
Dampak fisik yang terbesar adalah luka akibat kekerasan fisik yang mereka hadapi, mendapatkan HIV serta kondisi putus ARV yang sebetulnya tidak diinginkan oleh korban itu sendiri. Putus ARV tersebut, merupakan larangan yang diberikan oleh pasangan. Hingga laporan ini dibuat, korban belum dapat mengambil tindakan untuk kembali mengakses ARV dikarenakan adanya ancaman dari pelaku baik kepada korban, petugas penerima pengaduan maupun pendukung sebaya di lapangan yang hendak memberikan bantuan berupa asistensi atau informasi tentang pentingnya ARV untuk orang dengan HIV.
Kekerasan juga berdampak besar secara ekonomi, dimana sebagian besar dari mereka mengalami ketidakmampuan secara finansial untuk menghidupi dirinya dan anaknya, sehingga hal tersebut menjadi alasan beberapa perempuan korban memutuskan untuk bertahan dan hanya melakukan pengaduan, namun tidak menindaklanjuti kasus yang dihadapinya. Namun yang juga dirasakan dan sangat memberikan kerugian seperti adanya kerusakan harta pribadi dan kehilangan pekerjaan. Situasi ekonomi ini semakin mempersulit perempuan untuk keluar dari lingkaran kekerasan.
BANTUAN DAN DUKUNGAN BAGI KORBAN
Dalam proses panjang ini, IPPI belajar untuk memahami bahwa tidak semua korban akan berani untuk meneruskan kasus yang dia hadapi; sebagian besar hanya memutuskan untuk bercerita saja. Terdapat 24 korban yang menindaklanjuti situasi kekerasan yang dia hadapi. Kasus tersebut ditindaklanjuti mulai secara medis, psikologis; Penegakan/perlindungan hukum/Bantuan hukum; dan rumah aman.
REKOMENDASI
Setelah dua tahun berproses, IPPI berkomitmen untuk melanjutkan penerimaan pengaduan dari perempuan dengan HIV yang menjadi korban kekerasan. Dan melalui laporan catatan tahunan perdana IPPI ini yang tentunya akan terus berlanjut memberikan perlindungan dan dukungan kepada perempuan dengan HIV dan terdampak HIV di Indonesia.
Mengiringi komitmen ini, kami berharap akan ada komitmen serupa dari masyarakat, komunitas serta pemerintah dan layanan baik layanan kesehatan dan layanan penanganan kekerasan. Komitmen ini dapat berbentuk sensitisasi isu HIV dan kekerasan berbasis gender di kedua layanan, mengkoneksikan seluruh lembaga layanan dalam rujukan yang komprehensif dan terintegrasi, serta yang utama adalah membuat sistem dan mekanisme integrasi antara seluruh pengada layanan penanganan HIV dan layanan penanganan kekerasan.
Narahubung Ikatan Perempuan Positif Indonesia.
Ayu Oktariani
Phone : +6281314414027
Email : ayu1386@gmail.com / ippi.indonesia@yahoo.com
Alamat : Jl. Otista Raya Gang Mangga RT 01 RW 03 No.18a Bidaracina Jatinegara – Jakarta Timur