Tak Pernah Sendiri: Bagaimana Emi Menemukan Sumber Kekuatan Dari Keluarga dan Sahabat Dekat Ketika Dirinya Terinfeksi HIV

Emi tak kuasa menahan tangis ketika bidan di Puskesmas menyampaikan bahwa ada HIV dalam tubuhnya. Saat itu dia tengah empat bulan mengandung anaknya yang kelima. Suaminya pergi entah ke mana sejak Emi hamil empat minggu. Bagaimana Emi mampu menghadapi semuanya seorang diri?

Bisikan hati Emi rupanya tidak salah. Biasanya Emi memeriksakan kandungan di sebuah klinik. Namun, kali itu Emi merasa perlu untuk memeriksakan kandungan di tempat lain juga, mengingat di klinik yang biasa dia datangi tidak tersedia fasilitas untuk cek darah di laboratorium. Maka Emi datang ke Puskesmas. Di sana, Emi diwajibkan untuk cek lab. Setelah menunggu seharian, pada jam tiga sore, Emi menerima pemberitahuan itu, bahwa dirinya dinyatakan positif HIV. 

Kabar tersebut membuat Emi yang kondisi mentalnya memang sedang jatuh karena ditinggalkan suami jadi kian terpuruk. Dia tak mengerti dari mana virus itu bisa sampai dan tinggal di dalam tubuhnya. 

Awalnya, Emi memendam semuanya sendiri. Dia tak punya kekuatan untuk menceritakan kondisinya kepada siapa pun. Emi berniat menanggung semua beban itu sendiri, agar tak perlu membuat keluarganya, terutama anak-anaknya menjadi khawatir. Awalnya semua berjalan sesuai rencana, Namun setelah beberapa bulan, anak pertama Emi yang berusia dua puluh lima tahun mulai penasaran. 

“Mungkin karena lihat status WA saya yang isinya down banget, dia jadi khawatir. Di status itu saya bilang saya pasrah bahkan jika harus meninggal dan meninggalkan anak-anak saya,” kenang Emi. 

Khawatir, anak sulung Emi bertanya ada apa dengan ibunya, kenapa Emi sering pergi ke dokter. Emi tidak langsung berterus terang. Emi hanya bilang bahwa sedang berusaha menjaga kesehatan saja. 

“Tahu-tahu, waktu itu anak saya datang ke kamar lalu bilang, Ibu harus kuat. Ibu pasti bisa, pasti kuat,” kenang Emi. “Saya bingung maksudnya apa. Setelah itu anak saya bilang, Abang udah tahu Ibu sakit apa.” Rupanya, tanpa sepengetahuan Emi, anaknya mengambil ARV yang dikonsumsi Emi kemudian mencari informasi melalui Google. Akhirnya Emi memutuskan jujur kepada anak sulungnya, yang sejak saat itu menjadi penguat baginya. 

Selain dari anaknya, Emi juga mendapatkan dukungan dan bantuan yang sangat berarti dari pendamping sebaya dan para tenaga kesehatan. Mereka memberikan penguatan bagi Emi secara moral, juga mengingatkan hal-hal penting yang harus Emi lakukan agar tetap sehat.

Begitu diketahui bahwa Emi berstatus HIV positif, petugas layanan langsung mengarahkannya untuk menjalani program PPIA. Setelah menjalani tes-tes lainnya di rumah sakit, Emi juga langsung menjalani terapi ARV. Hingga kini Emi terus disiplin meminum ARV, dibantu oleh pendamping sebaya yang rajin mengingatkan Emi, terutama di masa-masa awal. “Alhamdulillah untuk minum ARV, karena tidak ada efek samping, jadi dari awal tidak ada kendala apa pun, tetap rutin minum karena saya juga ingin sehat demi anak-anak, demi ibu saya, demi orang-orang yang dekat dengan saya,” kata Emi. 

Emi bersyukur bahwa selama ia menjalani program PPIA, tidak ada kendala yang dia alami. Para petugas kesehatan dan pendamping sebaya banyak membantu Emi menjalani prosesnya. “Saya banyak dibantu oleh orang-orang yang benar-benar ada di lingkungan isu HIV. Beberapa bulan mau melahirkan juga ada yang membantu saya, mengantar ke sana-ke sini, naik turun di rumah sakit mengurus keperluan saya. Saya sampai gak bisa berkata apa-apa lagi. Terima kasih aja gak cukup.”

Anak kelima Emi lahir selamat dengan metode sesar. Dari hasil EID dan VCT, anak tersebut dinyatakan negatif HIV seperti harapan Emi. 

Kepada sesama perempuan lainnya yang sedang mengandung, Emi mengajak agar tidak ragu untuk menjalani tes kesehatan. “Tes HIV jangan dianggap menakutkan, itu untuk kesehatan, untuk tahu apakah kita sehat atau tidak. Kalau kita tidak tes, kita tidak tahu apakah di dalam tubuh ini ada virus atau tidak. Kalau sampai ketahuannya terlambat, kasihan dedek bayinya,” katanya.  

Emi juga berharap ada lebih banyak edukasi untuk masyarakat luas, khususnya di lingkungan tempat tinggal Emi yang warganya masih asing dengan informasi terkait HIV. Emi berharap pemerintah dapat menekan penularan HIV, baik dari NAPZA, dari hubungan seks berisiko, maupun dari jalur penularan lainnya. 

Untuk sesama perempuan positif HIV, Emi berpesan agar tetap semangat, patuh ARV, jauhi seks berisiko, termasuk ketika berhubungan seks dengan pasangan. Penggunaan kondom tidak hanya mencegah penularan HIV, melainkan juga menjaga diri dari terjangkit penyakit-penyakit lainnya. Emi juga mengingatkan pentingnya tes kesehatan rutin bagi mereka yang telah berpasangan. 

Emi tidak memungkiri bahwa dia masih berharap dapat bertemu dengan pasangan yang akan menemaninya hingga tua kelak. Namun, itu bukan prioritasnya kini. “Kita sebagai manusia biasa tidak memungkiri, gak munafik, kita perlu seorang pendamping untuk teman kita sharing. Namanya kita hidup gak mungkin hidup sendirian. Kalau masih ada jodohnya, saya siap menerimanya. Kalau pun tidak, tidak apa-apa, cukup saya membesarkan anak-anak dengan berusaha mencari nafkah untuk mereka,” katanya. 

Ketika pertama kali mengetahui statusnya sebagai perempuan dengan HIV positif, Emi begitu terpuruk, hingga merasa pasrah bahkan jika dia sampai meninggal. Ditinggalkan oleh suami, Emi merasa sendiri. Tak ada tempat baginya untuk membagi beban dan mencari tambahan kekuatan. 

Namun, rupanya Emi salah. Dia tak pernah sendirian. Di sekelilingnya, ada orang-orang yang mencintainya, peduli padanya, dan mau menerima dirinya apa adanya. 

“Sekarang yang tahu status saya itu anak-anak saya, ibu saya, adik saya, tante, dan beberapa teman-teman dan saudara,” kata Emi. “Alhamdulillah tidak ada yang mendiskriminasi. Semua justru kasih support, spirit, semangat, untuk saya agar terus berjuang. Saya bisa bertahan sampai detik ini karena mereka. Orang-orang yang awam tentang isu HIV, tapi justru mereka yang bisa memberi saya spirit untuk berjuang,” lanjutnya.  

Ketakutan Emi rupanya tidak terbukti. Orang-orang yang menyayanginya tetap ada untuknya. “Saya bangga dengan teman-teman saya. Jika saya cerita sambil menangis, mereka juga ikutan menangis,” tuturnya. 

Dukungan yang diberikan oleh orang-orang terdekat Emi menjadi titik balik baginya. Emi yang awalnya terpuruk mampu menemukan semangat untuk bangkit dan bertahan. Mereka juga yang membantu Emi untuk menerima kondisinya. “Mereka bilang, ini anugerah. Jadi saya dikasih anugerah sebagai wanita pilihan, diberi jalan hidup yang belum tentu orang lain sanggup. Itu yang memotivasi saya sampai saat ini,” katanya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia