“Dulu aku pikir yang namanya shock seperti kesamber geledek di siang bolong itu cuma pepatah, tapi ternyata aku sendiri mengalami gimana rasanya,” tutur Ivon ketika menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa pada tahun 2019 silam. “Untuk lima belas menit pertama, yang aku bisa lakukan hanya diam, bingung harus melakukan apa dan bingung kenapa bisa seperti ini,” lanjutnya.
Ivon tengah tujuh bulan mengandung anaknya yang pertama. Siang itu, mengikuti saran dari petugas layanan kesehatan, Ivon menjalani tes. Sebelumnya, Ivon sama sekali belum memeriksakan kandungannya. Ia merasa sehat dan tak ada masalah apa pun. Ia bahkan masih aktif bekerja sebagai SPG (sales promotion girl) dengan jam kerja bisa mencapai 12 jam per hari. Baru pada usia kandungan tujuh bulan ia melakukan pemeriksaan USG dan disarankan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan.
Ivon melakukan tes darah di Puskesmas dekat rumahnya dan dari hasil tes itu Ivon dinyatakan HIV positif.
“Aku kaget karena di tahun 2017 juga sempat tes HIV dengan hasil non reaktif. Kenapa sekarang positif?” kata Ivon menceritakan kekalutannya saat itu. Kebingungan lain langsung datang menyusul dan memenuhi pikirannya. “Aku harus gimana selanjutnya? Anakku gimana? Apakah aku bisa hidup panjang?”
Untungnya, petugas layanan kesehatan kemudian memberikan Ivon semangat dan kekuatan, bahwa meski tidak bisa diobati, tapi HIV bisa ditangani. Petugas layanan kemudian merujuk Ivon ke rumah sakit kota. Di sana, Ivon dipertemukan dengan pendamping sebaya yang memberikannya banyak arahan-arahan. Karena Ivon sedang hamil, dia juga langsung dikenakan dengan petugas dari program PPIA. Selanjutnya, Ivon diundang masuk ke grup PPIA dan menjalani terapi ARV.
Meski sudah mendapatkan penjelasan, tetapi Ivon masih belum sepenuhnya paham tentang apa yang menimpa dirinya. “Aku masih terus berperang dalam hati. Belum paham apa itu HIV. Masih ada perasaan tidak menerima keadaan dan kondisi yang aku alami saat itu.” Namun, hal itu tak membuat Ivon lalai dalam menjalani terapi ARV. Dia tetap meminum obat sesuai arahan.
Yang menjadi kegelisahan Ivon berikutnya adalah, bagaimana dia bisa memberitahukan statusnya kepada suami. Karena Ivon terdeteksi positif dalam kondisi hamil, petugas layanan memberitahu bahwa suaminya juga berisiko dan harus segera menjalani tes. Deteksi lebih dini selalu lebih baik. “Tapi apakah dia akan bisa menerima aku?” pertanyaan itu tidak bisa lepas dari benak Ivon, membuatnya ragu membuka status pada suami.
Butuh waktu dua minggu hingga Ivon akhirnya punya cukup keberanian. Selama dua minggu itu, Ivon menyembunyikan semua yang berhubungan dengan statusnya, seperti obat ARV dan buku kehamilan. “Segala sesuatu yang menyatakan aku HIV aku umpetin, belum dikasih tahu ke siapa pun.”
“Aku berterima kasih banget udah dimasukkan ke dalam grup PPIA. Dari grup itu aku jadi banyak tahu dan dapat banyak sharing dari ibu-ibu, bunda-bunda yang sejawat. Di sanalah aku menggali ilmu dan mencoba berdamai dengan diri sendiri. Setelah aku tahu apa itu HIV, baru aku punya keberanian dan keyakinan buat ngasih tahu pasangan, karena kalau makin lama enggak ngasih tahu pasangan, justru aku bahayain pasangan aku,” tuturnya.
Ilmu-ilmu yang Ivon dapatkan di grup PPIA tentang HIV membantunya memahami HIV dengan lebih objektif. Stigma-stigma negatif yang tadinya ia miliki pun gugur dengan sendirinya. “Sebelumnya aku punya stigma bahwa HIV itu penyakit mematikan, kutukan dan menjijikan. Setelah tahu lebih banyak, aku bisa melihat bahwa HIV itu, ya, salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus. Kalau misalnya aku jaga, pasangan aku jaga, aku gak bakalan berisiko untuk menularkan ke pasangan aku.” Hilangnya stigma negatif yang Ivon miliki terhadap HIV membantunya menerima kondisi dan berdamai dengan diri sendiri. Dari situ pula, terbentuk keberanian dan kepercayaan diri untuk membuka statusnya pada suami.
“Yah, menurut kamu, penyakit yang paling menyeramkan itu apa?” tanya Ivon pada suami. Mereka memiliki kebiasaan untuk mengobrol sebelum tidur. Ivon memanfaatkan momen itu untuk mengajak suaminya bicara.
“Buat aku, penyakit yang paling menyeramkan itu HIV,” jawab suaminya. Ivon merasa sedikit down dengan jawaban suami. Namun, ia tetap melanjutkan. Ia bertanya kenapa suaminya berpikir seperti itu. Suaminya kemudian menjawab bahwa menurutnya, HIV itu penyakit terkutuk dan orang yang terkena HIV adalah orang yang hina. Bahwa orang-orang yang terjangkit HIV adalah orang-orang yang melakukan seks bebas.
Mendengar pandangan suaminya yang masih dipenuhi stigma negatif terhadap HIV, Ivon menjelaskan semua yang dia tahu. “Aku jelasin bahwa ternyata orang yang kena HIV itu bukan semuanya orang yang melakukan free seks atau pakai obat-obatan terlarang. Ternyata bisa juga terkena dari hal lain. Bahwa HIV tidak seganas yang kita pikirkan. Kita minum dari satu gelas yang sama pun tidak tertular. Berhubungan pun kalau dengan safety yang benar tidak akan tertular.”
Suaminya kemudian mulai curiga dan bertanya kenapa Ivon bertanya tentang hal itu. Maka Ivon bercerita bahwa dia HIV positif.
Suaminya tidak langsung percaya. Maka Ivon memberikan surat hasil pemeriksaan lab, buku kehamilan dan ARV. Ivon memberi suaminya waktu satu jam untuk berpikir. Setelah itu, apa pun yang jadi keputusan suaminya, akan dia terima. Ivon hanya berpesan agar suaminya mau menjalani tes agar statusnya dapat segera diketahui.
Satu jam berlalu. Suaminya menyatakan setuju untuk menjalani tes.
Malam itu, mereka tidur di ranjang terpisah. Ivon mengerti dan bersedia memberi waktu untuk suaminya. “Aku aja yang ngalamin sendiri butuh waktu buat nerima, apalagi dia. Pasti shock banget.”
Keesokan harinya, suami Ivon menjalani tes di puskesmas yang sama. Hasilnya negatif. Petugas layanan memberikan konseling kepada Ivon dan suami. Ia memberikan informasi bahwa banyak pasangan lain, baik yang salah satunya maupun dua-duanya positif, tetap bisa sama-sama sehat dan memiliki anak yang sehat pula. Selama semua prosedur keamanan dijaga, tidak akan terjadi apa-apa.
Setelah mendengar semua penjelasan itu, suami Ivon memutuskan untuk bertahan dan melanjutkan hubungan pernikahan mereka. Namun, apakah semuanya berjalan dengan mudah?
“Saat ini, aku dan suami udah menginjak usia empat tahun pernikahan. Setelah dinyatakan dia negatif, aku positif, aku bilang ke suami, Tolong support saya setidaknya sampai anak lahir, karena dukungan moral dari kamu yang aku butuhin. Kalau aku kenapa-kenapa, anak juga bakal kenapa-kenapa.” Ivon memang tidak langsung open status ke keluarganya, sehingga satu-satunya orang yang bisa dia minta dukungan adalah suaminya, satu-satunya orang yang sudah mengetahui statusnya saat itu.
“Dari situ dia menjalankan peran sebagai calon ayah yang baik, walau mungkin bukan sebagai suami yang baik. Nemenin 100 persen setiap aku kontrol ke layanan kesehatan,” ungkap Ivon. Anak mereka lahir dengan selamat dan setelah menjalani dua kali EID, hasilnya negatif. Seharusnya tak ada lagi yang membuat Ivon khawatir.
Namun, status Ivon sebagai perempuan dengan HIV positif, rupanya masih terus membayang-bayangi rumah tangga mereka.
“Di tahun pertama setelah kelahiran anak, kalau kami berantem, dia selalu bilang, Masih untung aku mau sama kamu, masih untung aku mau ngedampingin kamu, masih untung sampai detik ini juga aku mau ngedampingin kamu dan anak kamu. Di tahun kedua, kalau ribut, dia selalu bilang, Kalau nanti aku kenapa-kenapa, yang pertama kali harus tanggung jawab itu kamu.”
Sikap suaminya yang masih terus mengungkit-ungkit status Ivon sempat membuatnya terpuruk. Ivon bahkan mempertanyakan untuk apa dia terus minum ARV, toh suami dan anaknya negatif. Ivon merasa tidak ada yang menginginkannya. Bahkan Ivon sempat berpikir, jika nanti anaknya sudah dewasa, apakah dia akan bisa menerima kondisi ibunya?
Saat itu Ivon merasa belum punya kekuatan apa-apa untuk membela dirinya sendiri. Padahal dari tahun pertama, selalu Ivon yang menjadi tulang punggung di keluarganya, bukan suami.
Meski berat, Ivon tetap mencoba menguatkan diri. Ketika merasa down, Ivon mengobrol dengan teman-teman sebaya di PPI Banten. Dari dukungan teman-teman komunitas itulah, Ivon mendapatkan dorongan untuk terus bangkit dan bisa bertahan hingga sekarang.
Di tahun ketiga setelah kelahiran anaknya, Ivon sudah memiliki kekuatan untuk menghadapi suaminya. “Kalau emang gue salah gue minta maaf. Kalau emang gue gak salah, gue lawan balik. Jangan mentang-mentang gue begini, lu bisa seenaknya. Gue juga punya hak. Para ODHIV itu dilindungi,” katanya pada suami.
Dari pengalamannya, Ivon merasa bahwa tantangan terbesar yang dia hadapi sebagai seorang perempuan dengan HIV positif adalah penerimaan diri sendiri. Dia berharap bagi orang-orang yang baru mengetahui statusnya sebagai ODHIV, ada pendamping yang tidak hanya memberikan informasi, tapi juga memberikan dukungan moral dan pendampingan psikologis, termasuk memberikan dukungan ketika ODHIV yang bersangkutan harus mengungkapkan statusnya kepada orang terdekat seperti pasangan. “Aku berharap, begitu terdeteksi positif HIV itu langsung ada psikolognya, jadi yang mentalnya acak-acakan bisa tertata lagi.”
Saat ini, Ivon punya dua mimpi besar.
“Yang pertama, aku pengen mensejahterakan atau memposisikan wanita-wanita yang berstatus sama dengan aku, setara di mata pasangan, di mata masyarakat. Sehingga jika nanti ada orang yang mengungkapkan statusnya sebagai ODHIV, sudah tidak akan dipermasalahkan lagi. Yang kedua ingin sosialisasi ke remaja-remaja yang di atas 17 tahun, yang baru puber, untuk menjelaskan apa itu HIV, kenapa orang bisa terjangkit, apa yang seharusnya tidak kita lakukan, dan lain-lain.”
Selain itu, Ivon juga ingin bisa open status ke lebih banyak orang. “Pengen open status ke khalayak, tapi aku harus jadi orang hebat dulu, jadi ketika open status orang-orang bisa menerimaku dengan positif, karena ada hal-hal baik yang bisa dicontoh dari diri aku,” katanya.
Stigma negatif menjadi penghalang bagi timbulnya penerimaan. Selama stigma-stigma itu masih mengakar kuat di benak masyarakat, akan sulit untuk menerima dan melihat orang-orang dengan HIV secara setara. Inilah tantangan yang perlu ditangani untuk mempermudah terwujudnya penerimaan, baik bagi ODHIV itu sendiri, maupun orang-orang terdekat dan masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, Ivon-Ivon lain di masa depan tidak perlu mempertanyakan nilai dirinya sendiri hanya karena statusnya sebagai orang dengan HIV positif.
Sumber: Podcast Perempuan Berdaya 49. “Positive & Pregnant” | Ivon: Ini kali pertama saya bercerita dan open status kepada masyarakat bahwa saya perempuan dengan HIV dan bisa punya anak!
Teks: Yoga Palwaguna