Bagi Enin, Tuhan Dan Anak Adalah Kekuatan Saya

Adalah seorang Enin perempuan inspiratif yang bercerita tentang lika-liku kehidupannya sebagai Odhiv dengan berbagai macam ujian dan permasalahan yang dialaminya.

 

Anin merupakan salah satu dari banyaknya perempuan-perempuan di Indonesia yang menjadi korban atas perilaku pasangan hidup yang tidak setia dan titik akhirnya adalah menyandang predikat Odhiv yang melekat pada dirinya sampai akhir hayat.

 

Beliau adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang memiliki seorang putri, dan untuk membantu perekonomian keluarga beliau juga bekerja sebagai karyawan swasta di perusahaan tekstil/garmen. 

 

Pada tahun 2010 suami pertama Enin meninggal dunia dengan status HIV positif, dimana 1 tahun sebelumnya sang suami sudah mengalami penurunan kesehatan, diantaranya kulit melepuh, tumbuh banyak jamur, berat badan semakin kurus, Enin sudah bolak-balik membawa suami berobat ke dokter kulit atau rumah sakit, namun tidak sembuh-sembuh dan ia pun semakin bingung dengan penyakit yang diderita oleh suami.

 

Di Rumah Sakit Al-Islam Enin membawa suami untuk mendapatkan penanganan dan pengobatan, namun kesehatannya justru semakin menurun, ia mengidap toksoplasma dan sudah tidak bisa berbicara, bahkan berat badan yang dulunya 70 kg turun menjadi 30 kg. 1 (satu) minggu sebelum meninggal dunia, suami dinyatakan positif HIV-Aids setelah hasil tes keluar dan sudah mulai tumbuh IO pada tubuhnya. tiga hari setelah suami dinyatakan positif, Enin pun diminta untuk melakukan test VCT, dengan kondisi perasaan campur aduk, kaget, antara percaya dan tidak, akhirnya Enin melakukan tes tersebut.

 

Dan betapa kagetnya ia setelah hasil test keluar bahwa dirinya pun dinyatakan HIV positif, disusul suami yang meninggal dunia 3 (tiga) hari setelah status HIV melekat pada dirinya dan 1 tahun kemudian Enin baru berani untuk melakukan VCT untuk anak. Disaat-saat inilah Enin mengalami fase tidak menerima dengan semua ujian yang Tuhan berikan. Enin marah kepada Tuhan dan Almarhum suami, karena merasa kehidupan yang dijalaninya tidak adil, Enin sudah menjalani kehidupan dengan baik dengan berlaku setia kepada pasangan, seluruh hidup, waktu, tenaga dan uang telah Enin korbankan demi keluarga, bahkan ia rela bekerja membanting tulang demi membantu perekonomian keluarga.

 

Terkadang Enin menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi, ia merasa ikut andil atas perilaku suami yang berselingkuh dengan wanita lain. Pada pekerjaannya ia mengalami Ditok Posisition, kesibukan akan tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya pergi pagi pulang subuh sehingga tidak ada waktu untuk suami dan keluarga, sehingga menurutnya suami mencari pelarian diluar dengan wanita lain.

 

Bagi seorang Enin menyandang status Odhiv bukan hal yang mudah, sejak ia mengetahui tentang status HIVnya ia langsung menjalani pengobatan ARV dan selama kurang lebih 6-7 tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2016, Enin menutup diri dari lingkungan sekitar, setiap harinya ia mencari kesibukan dengan bekerja dan bekerja (pergi pagi pulang subuh), hal ini dilakukan supaya ia dapat melupakan semua beban yang ada pada dirinya dan ternyata tidak bisa dilupakan begitu saja, dan Enin baru berani untuk melakukan test VCT kepada anak setelah 1 tahun kemudian.

 

Pada masa-masa awal Enin menyandang status HIV dan mengalami kondisi kesehatan yang drop (menurun), stigma dan diskriminasi terbesar justru diterimanya dari pihak keluarga sendiri, keluarga Enin sangat ketakutan akan tertular dengan tidak mau menyentuh bekas makan atau minum Enin, hal ini berlangsung selama 3,5 tahun. Akhirnya Enin mendatangkan seorang dokter dan petugas pendamping ke rumah untuk mengedukasi keluarga tentang fase penularan HIV-Aids dan seiring berjalannya waktu akhirnya keluarga menerima Enin dan memberikan dukungan serta support yang sangat besar. 

 

Pada tahun 2015 Enin menikah kembali, namun lagi-lagi harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Baru saja  menikah Enin sudah mendapatkan kekerasan dari suami, kekerasan verbal dan fisik kerap kali diterimanya dan perlakuan itu disaksikan langsung oleh anak sehingga menyebabkan anak trauma. Suami kedua Enin memiliki kelainan seksual yang memicu ketidakharmonisan dalam rumah tangga Enin. Setiap malam ia sholat tahajud, berdoa dan berharap semoga Tuhan dapat membukaan pintu hati suami dan membawa berubah yang baik. Dan berbagai upaya telah dilakukan Enin untuk menyelamatkan pernikahannya, bahkan Enin rela untuk berhubungan sex yang tidak semestinya yaitu lewat belakang (anus), karena menurut Enin daripada suami berhubungan sex yang tidak lazim dengan orang lain, lebih baik dengan dirinya yang merupakan istri sah walaupun hal tersebut bertentangan dengan norma agama, namun ditolak oleh suami dan yang ada Enin tetap mendapatkan perlakukan kekerasan seperti di siksa, dijambak, ditempeleng sampai berdarah-darah dan puncaknya pada akhir tahun 2016 Enin dipukul menggunakan helm sampai berdarah-darah, setelah kejadian tersebut Enin pulang ke rumah kakaknya, ia mengurung diri selama 1 bulan.

 

Selama 1 bulan proses mengurung diri tersebut, akhirnya Enin berpikir bahwa ia tidak mau mati konyol (sia-sia) dan melihat anak yang menangis meminta pulang, akhirnya Enin memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya (bercerai) yang hanya berumur 4 bulan. 

 

Di tahun yang sama Enin open status kesehatannya kepada pemilik perusahaan, tempat dimana ia bekerja yang bernama Koh Abeng dan Cik Meta, dan diluar dugaan bahwa atasannya tersebut justru sangat mendukung dan mensupport Anin, namun di tahun 2017 Anin memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan tempat ia bekerja, meskipun ia telah berhenti bekerja, mantan atasan tetap mengirimkan uang sebesar 2 juta rupiah setiap bulannya dan berlangsung selama 2 tahun. Anin sendiri merasa tidak enak dengan pemberian uang cuma-cuma tersebut dan Anin meminta kepada mantan atasannya untuk berhenti memberi uang.  

 

Setelah keluar kerja di perusahaan terdahulu, Anin memilih kerja sebagai tukang ojek, antar jemput anak sekolah, asisten rumah tangga dan juru parkir, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk biaya sekolah anak di pesantren dan ingin mendobrak pemikiran masyarakat sehingga menepis stigma dan diskriminasi dengan memotivasi atau mengedukasi orang-orang bahwa HIV bukan akhir dari segalanya, Odhiv tidak menakutkan, Odhiv masih bisa berdaya dan masyarakat umum bisa lebih awware terhadap kesehatannya.

 

Saat ini putri Anin yang bernama Intan sudah duduk di kelas 2 SMP di Pesantren Al-Azhar Ramadhani dan tinggal/mondok di Pesantren sudah mamasuki tahun ke-6. Intan memiliki cita-cita ingin menjadi seorang dokter supaya bisa menolong banyak orang. Intan sudah menghapal Al-Qur’an sebanyak 20 dzus dan 1,5 tahun kedepan mengejar hapalan Al-Qur’an 30 dzus, disamping hapalan yang didapat, Intan juga berkesempatan untuk bebas semua biaya kuliah pada Fakultas Kedokteran di Universitas Pajajaran yang ia impikan. 

 

Sejak SD ia sering kali bertanya perihal obat yang sering Anin konsumsi dan jawaban yang Anin berikan adalah vitamin dan vitamin, namun rupanya jawaban tersebut tidak membuat puas sang anak, putri Anin mencari sendiri di google berdasarkan nama-nama yang tertera pada kemasan obat ARV dan akhirnya Anin mengakui tentang status HIV yang tertular dari ayah kandungnya, dan seketika itu juga putri Anin menangis dan memeluk Anin dengan erat, tak henti-hentinya ia menguatkan Enin “Mamah harus sehat, teteh tidak bisa hidup tanpa mamah, karena selama ini mamah yang berjuang untuk teteh” dengan support dari anak tersebut Anin semakin tersemangati dan tidak mengenal lelah untuk mencari uang demi anak satu-satunya tersebut.     

 

Saat ini Enin sedang berhubungan dekat dengan seseorang yang merupakan orang sehat (bukan Odhiv), Enin sudah berterus terang tentang status kesehatannya dan orang tersebut menerima kondisi apapun yang ada pada diri Enin, baik dari segi fisik, jiwa, karakter dan kekurangan Enin. Namun hubungan tersebut masih terkendala oleh restu sang anak. Sang anak pernah dipertemukan dan dikenalkan dengan teman dekat Enin dan sikap yang ditunjukan anak tidak welcome dan terkesan jutek. Enin sangat mengerti atas penolakan anak atas hubungan yang dijalaninya dengan orang tersebut, rasa trauma dan takut akan mengalami hal yang mengerikan yang menimpa Enin terdahulu yang menjadi alasan kuat atas penolakan tersebut dan Enin tidak mau memaksakannya, karena bagi Enin anak adalah tetap prioritas nomor-1.

 

Awal tahun 2017 Enin mengenal IPPI melalui petugas pendamping bernama Hety Herawati yang sebelumnya dikenalkan oleh tetangganya yaitu Peni Avianti, ini merupakan titik balik atau awal perubahan besar bagi Enin, kekuatan dan support yang besar dari IPPI yang pada akhirnya membuat Enin menyadari bahwa ia adalah orang yang di pilih Tuhan untuk menjalani ujian dan HIV bukan akhir dari segalanya. Ia ingin membuktikan kepada lingkungan dan masyarakat bahwa Odhiv masih bisa berdaya, tetap survive, mandiri, bisa melalui fase-fase sulit dan bahagia layaknya orang sehat. Anin menyadari akan pentingnya bergabung di komunitas, dimana bisa bertemu dengan teman-teman yang bernasib sama yang bisa saling menguatkan satu dengan lainnya.

 

Selain bekerja sebagai ojek online, ART bersih-bersih rumah, juru parkir, antar jemput anak sekolah, ia juga 3 (tiga) bulan ini bekerja sebagai CO (Community Organizer) dari kota Bandung (KPA) yang bertugas mendorong Kewilayahan Kelurahan Rancasari dalam isu penanggulangan HIV-Aids di program P2HIV. Enin sangat nyaman terjun di isu HIV, karena menurutnya isu HIV merupakan isu yang sangat unik, orang kebanyakan tidak aware terhadap diri sendiri, padahal pengetahuan HIV itu sangat penting buat masyarakat umumnya, bukan hanya populasi kunci saja yang beresiko. Ini menjadi PR kita bersama, bahwa kita harus bersama-sama menanggulangi dan mencegah bagaimana meminimalisasi penyebaran HIV dengan perilaku yang lebih sehat, setia dengan pasangan, memberikan edukasi-edukasi ke masyarakat umum dan merasakan menjadi lebih kuat karena sering menjadi testimony atau rollmodel sebagai seorang Odhiv yang masih bisa hidup sehat, bahagia, produktif dan tetap berdaya, HIV bukan akhir dari segalanya.

 

“Kita merupakan Perempuan-Perempuan Pilihan Tuhan, Kita Masih Berhak Bahagia, Kita Masih Bisa Berdaya, HIV Bukan Akhir Dari Segalanya”

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia