EMMA : “Mengucap Hamdallah Ketika Pertama kali Tahu Status!”

Tahun 2005 adalah tahun yang sangat menghancurkan Emma, suami sakit dan anaknya yang baru berusia satu tahun juga sakit-sakitan. Akhirnya dirujuk untuk tes HIV dan berita yang menyakitkan pun Emma terima bahwa Alhamdulillah bahwa Emma, suami dan anak HIV positif. Emma hanya bisa menangis, merasa hidup akan berakhir. Berita status HIV bukan duka satu-satunya, pada bulan Desember ditahun yang sama suami Emma meninggal dunia. Pada saat itu Emma sangat kesulitan akses, tidak punya HP, tidak memiliki BPJS jadi masih mengeluarkan biaya yang cukup besar dan jarak yang jauh di RSCM.

 

Hingga akhirnya dapan mengucapkan hamdalah untuk anak positif. 

Hingga akhirnya Emma bertemu teman yang menyarankan untuk pindah ke Depok agar dapat lebih murah secara biaya dan lebih dekat secara jarak.

Setelah akses selama 11 tahun Emma memutuskan untuk pindah ke Depok. Terhitung dari 2016 hingga sekarang Emma dan anaknya akses di Depok. 

 

Pengobatan dimulai dari suami dan anak Emma karena CD4nya dibawah 200, sedangkan saat itu CD4 Emma masih 500 saat itu jadi belum terapi. Dengan kondisi yang sangat terpuruk anak sakit dan suami drop dan pada akhirnya meninggal, Emma mungkin kelelahan yang menyebabkan CD4 Emma turun secara drastis hingga hanya 278. Dokter menanyakan kepada Emma terkait kesiapan terapi atau bagaimana, karena ARV harus diminum seumur hidup. 

Saat itu dengan berat hati memutuskan memulai terapi, diberikan Duviral dan Neviral, yang ternyata Neviralnya merasakan efeksamping yaitu alergi. Dokter menyarankan dilanjutkan saja, tapi Emma tidak tahan karena alergi yang dialami sangat menyiksa, Emma hanya bilang “ jika tidak diganti Emma akan berhenti minum ARV” dan akhirnya dokter mengganti dengan Evafirenz. 

 

Dengan segala macam efek samping yang dirasakan, Emma tetap melakukan pengobatan karena ada anak yang juga positif. Harus menjadi Ibu sekaligus Ayah buat anak, Emma harus survive. Tidak ada yang tau dari keluarga Emma terkait status HIVnya, hanya dari keluarga suami.

Yang membuat Emma survive saat itu hanya anak, karena Emma minim sekali informasi tentang HIV. Bahkan sedikit informasi yang didapat dari petugas layanan justru banyak tahu dari teman-teman sebaya saat itu. Emma hanya tahu bahwa HIV itu tidak hidup lama. Namun Emma bertekad harus tetap hidup bagaimanapun caranya. 

Dan lama kelamaan kondisi kesehatan Emma dan anaknya menjadi biasa saja, tidak ada yang aneh hanya sakit-sakit biasa. Bahkan kondisi anak pun sangat jauh lebih baik, tidak seperti awal-awal anak yang kondisinya sakit-sakitan dan memprihatinkan bahkan sering bolak-balik ke rumah sakit.

 

Setelah pindah akses layanan di Depok Emma ditahun 2016. Emma seperti orang baru yang tidak tahu informasi apapun, baru tahu juga kalau ODHA bisa menikah, punya anak dan menyusui. Banyak ilmu baru yang didapat Emma, tidak seperti di Jakarta karena Emma hanya akses lalu pulang. Beruntung tinggal di Depok bertemu dengan seseorang yang tidak pelit ilmu sampai Emma terbengong-bengong mendapatkan informasi dan ilmu baru.

Di Depok Emma bertemu dengan seorang teman yang mengajak Emma untuk aktif dan ikut dikegiatan KDS yang ternyata banyak teman yang sama, bahkan Emma tidak berpikir akan sebanyak itu yang sama dengan dirinya. Hingga akhirnya sampai saat ini Emma selalu mengucap Alhamdulillah untuk status HIV yang disandang dirinya dan putrinya.

 

Emma telah menikah kembali dengan seorang laki-laki yang HIV nya negative. Yang dapat menerima status Emma dan anaknya, beliau masih keluarga almarhum suami Emma. Pernikahan Emma sudah berjalan 7 tahun dengan support yang sangat luarbiasa yang diberikan pada Emma. Emma dulu sangat tertutup, takut minum obat, enggan bersosialisasi, menutup komunikasi, dan sangat minder. Suaminya yang memberikan keyakinan pada Emma hingga mendapatkan kepercayaan diri. 

 

Saat ini anaknya Emma telah berusia 17 tahun. Anak sempat mogok minum obat karena merasa bosan, Emma punya cara untuk anaknya agar kembali minum obat, salah satu caranya adalah mengingatkan akan kondisi anak dulu yang saki-sakitan, keluar masuk rumah sakit. Dan akhirnya anak mau minum ARV lagi. Pada saat SMP kelas 2(14 tahun), dokter menyarankan kepada Emma agar memberitahukan status HIV pada anaknya. Emma masih sangat takut dan khawatir bahkan tidak berani, kecuali dokter yang menyampaikan. Yang membuat Emma tidak bisa berkata-kata adalah ternyata anaknya sudah tahu. Karena saat akses layanan dan ambil ARV, ada banyak spanduk terkait HIV dan pengobatannya. Jadi anaknya tahu bahwa dia adalah anak yang hidup dengan HIV.

 

Karena Emma adalah seorang ibu dari ADHA yang akhirnya Emma ingin terlibat aktif di issue HIV, berbagi ilmu dan informasi terkait pengobatan buat anak berdasarkan pengalaman yang Emma jalani. Emma juga pernah terlibat yaitu pada Film short Kekerasan pada perempuan. Emma saat ini bekerja di JIP sebagai CBMF.

 

Harapan Emma adalah tidak ada lagi anak-anak yang terlahir HIV positif cukup hanya di ibunya saja, oleh sebab itu PPIA harus berjalan. Walaupun saat ini Emma masih belum berani punya anak lagi, ketakutannya bukan pada proses atau hasilnya tetapi karena ketakutannya akan jarum suntik.

Emma berpesan “jangan pernah menyerah, tetap semangat, jangan putus asa, ikhlas jalaninnya walaupun klise seperti mudah diomongin tapi susah dijalanin tapi Emma bisa melewatinya. Untuk orang tua yang punya ADHA ayoo kalian bisa”

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia