Dulu, HIV memang pernah menjadi semacam vonis kematian bagi orang yang menyandangnya. Begitu seseorang dinyatakan positif HIV, maka hanya tinggal menunggu waktu saja sampai virus menang mengalahkan manusia yang dihinggapinya. Namun, itu dulu. Saat ini, keadaan sudah jauh berbeda.
Buktinya Selvi dari Nusa Tenggara Timur. Bukan setahun dua tahun dia telah divonis sebagai perempuan dengan HIV. Tiga belas tahun telah berlalu sejak Selvi pertama kali tahu bahwa dirinya positif HIV. Selama belasan tahun tersebut, Selvi sama sekali tidak kehilangan kehidupannya. Virus yang ada dalam tubuhnya tidak mengalahkan daya hidupnya. Tidak hanya sehat, Selvi juga kini mampu menolong banyak orang. Semua diawali dengan statusnya sebagai perempuan dengan HIV.
Selvi pertama kali mengetahui statusnya pada tahun 2009. Saat itu Selvi sudah memiliki seorang anak yang lahir di tahun 2008. Karena belum tahu tentang kondisinya, Selvi masih sempat memberikan ASI kepada anaknya itu. Namun, untunglah anaknya tetap negatif HIV.
Ketika tahu bahwa dirinya positif HIV, Selvi sempat berpikir bahwa dia tidak akan bisa memiliki anak lagi. Namun, setelah menjalani terapi ARV, dia mendapatkan informasi dari dokter tentang program PPIA. Program pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak (PPIA) merupakan upaya terhadap perempuan usia produktif (15-49 tahun) yang terinfeksi atau memiliki risiko terinfeksi HIV untuk tetap terjaga kesehatannya, serta mencegah menularkan infeksi HIV kepada bayi yang dikandung.
Setelah tiga tahun menjalani terapi ARV, Selvi dan suaminya menemui dokter untuk berkonsultasi terkait program PPIA. Selvi pun menjalani program sesuai dengan arahan dokter dan tenaga layanan kesehatan yang bertugas menanganinya. Sayangnya, pada saat itu kesiapan layanan belum maksimal sehingga Selvi tidak mendapatkan pelayanan terbaik, di antaranya pilihan untuk melahirkan dengan prosedur normal dan pemberian ASI untuk bayi.
Selvi bercerita, “Waktu itu nakes belum siap, mereka masih pakai panduan yang lama, jadi teman-teman yang ikut program PPIA semuanya disesar. Saya juga belum banyak tahu tentang PPIA, belum tahu ada perkembangan yang baru bahwa kita boleh normal, boleh kasih ASI. Jadi waktu itu ikut saja disuruh sesar padahal sudah hampir partus. Karena tidak tahu dan belum banyak belajar, jadi ikut aja.”
Selain itu, Selvi juga memiliki kecurigaan bahwa dia disteril tanpa persetujuannya. Sejak pertama kali berkonsultasi ke dokter kandungan, Selvi sudah berkali-kali disarankan untuk disteril. Meski sudah menyatakan bahwa dia dan suaminya keberatan, dokter masih terus membujuk. “Katanya disteril aja, kasihan ibunya juga sudah begini (positif HIV). Tapi saya tetap bilang gak mau, soalnya anak saya baru dua. Saya pengin punya anak laki-laki lagi,” kata Selvi.
Pada saat itu, Selvi bertemu dengan dokter yang berbeda setiap kali dia datang untuk konsultasi di layanan kesehatan. Setiap dokter yang dia temui kembali membahas perihal sterilisasi dengan pandangan yang sama, bahwa lebih baik Selvi disteril. Selvi pun masih tetap mempertahankan pendiriannya untuk menolak.
Hingga akhirnya ketika waktu operasi sesar tiba, suami Selvi menerima surat persetujuan yang tidak diketahui pasti isinya apa. “Pas mau sesar itu saya udah panik, suami juga sudah panik, gak tahu dikasih informed consent-nya apa, langsung ditandatangani saja. Sampai sekarang saya gak pernah hamil lagi padahal gak pernah pasang KB. Jadi saya pikir, apa mungkin saya waktu itu disteril?” ungkap Selvi.
Selvi mengaku tidak tahu karena dia sudah berada di meja operasi. Suster yang menangani proses persalinan Selvi juga panik, berseru-seru bahwa ada pasien B20 yang akan melahirkan. Saat itu Selvi sudah bukaan delapan, tetapi tetap dibawa ke ruang operasi, bukan dibantu untuk melahirkan secara normal. Ketika suami Selvi diminta tanda tangan, dia sudah tak sempat membaca dengan teliti karena kondisinya sudah membuat panik.
Selvi juga tidak diberi pilihan untuk memberikan ASI kepada bayinya. “Saya waktu itu maunya ASI, tapi gak dibolehkan oleh dokter dan bidannya,” kenang Selvi. Merasa ilmunya masih minim jadi Selvi putuskan untuk menurut saja pada apa yang dikatakan oleh dokter dan bidan. Dia takut jika mengambil risiko untuk memberikan ASI, maka bayinya akan mengalami hal yang tidak diinginkan. “Saya dilema, mau ngasih ASI takut nularin, gak ngasih ASI jadi merasa bersalah pas lihat muka bayi. Tapi ya akhirnya gak dikasih ASI juga,” lanjutnya.
Saat ini anak terkecil Selvi sudah berumur sepuluh tahun dan setelah tiga kali menjalani tes, dinyatakan negatif HIV. Selvi sudah menjalani kehidupan sebagai seorang perempuan dengan HIV selama tiga belas tahun lamanya. Alih-alih kehilangan kehidupannya, Selvi justru menemukan jalan baginya untuk membantu orang lain.
Selvi bercerita tentang kegiatannya saat ini sebagai pendamping ibu hamil yang berstatus positif HIV. Katanya, “Sekarang kebetulan saya lagi masuk dalam program UNICEF untuk pendampingan ibu hamil yang positif HIV, jadi saya bisa mencontohkan diri saya ke mereka. Ini loh, saya perempuan yang hidup dengan HIV selama 13 tahun bisa punya anak dan suami yang negatif. Itu nilai lebihnya PPIA untuk sekarang ini.”
“Kita baru percontohan dulu, kalau berjalan bagus akan diteruskan dengan akses APBD. Beberapa tahun terakhir ini UNICEF sering turun ke Kupang dengan fokus sebenarnya ke anak. Anak-anak dengan HIV di Kupang itu sebagian besar stunting atau gizi buruk, jadi mereka datang ke NTT karena hal itu. Itulah yang jadi fokus di UNICEF,” lanjut Selvi.
Dari pengalamannya, Selvi menyadari bahwa tidak ada hal yang terjadi tanpa rencana Tuhan. Katanya, “Kita itu ditempatkan di jalan ini bukan tanpa rencana. Kalau kita sampai ada di tempat ini berarti Tuhan punya rencana yang baik untuk kita. Seperti saya saat ini. Dulu gak berpikir akan menjadi pendamping bagi ibu hamil dan ODHA, bisa kasih ilmu ke mereka. Sekarang saya bersyukur ada di sini karena bisa membantu banyak orang.”
Selvi yakin, selama kita mau belajar, kita akan mendapatkan nilai positif dari hal apa pun yang menimpa dalam hidup termasuk ujian dan hal-hal berat yang harus kita jalani.
Selvi berpesan kepada masyarakat, “Pahami informasi tentang HIV, kalau masyarakat udah paham itu, otomatis mereka juga akan mendukung teman-teman yang hidup dengan HIV. Bukan orangnya yang dijauhi tapi virusnya. Carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang HIV dan penularannya. Itu bisa membantu kita memberikan support untuk orang yang hidup dengan HIV.”
Menurut Selvi, dukungan paling besar yang bisa diberikan oleh masyarakat kepada perempuan yang hidup dengan HIV adalah dengan memberikan mereka ruang hidup yang cukup dan nyaman untuk dapat berkarya dan memberikan manfaat bagi keluarga serta masyarakat di sekitarnya. Selama ruang itu ada, perempuan dengan HIV tidak akan pernah menjadi beban bagi masyarakat, justru berkontribusi untuk memajukannya.