Chintya: “Keputusan Menyusui bagi Ibu dengan HIV Positif: Antara Kebijakan Rumah Sakit dan Hak Individu”

“Kamu gak usah ASI, ya.” 

Saat itu Chintya sedang menjalani kehamilan kedua dan baru mengetahui statusnya sebagai perempuan dengan HIV positif. Kalimat di atas merupakan saran dari dokter yang menanganinya. Diucapkan oleh dokter yang tentunya, seharusnya, jauh lebih paham dari Cynthia tentang pilihan yang tersedia bagi pasiennya, Cynthia percaya saja. 

Namun, benarkah demikian? 

Pada kehamilannya yang pertama, Chintya belum mengetahui statusnya, apakah dia sudah positif HIV atau belum. Saat itu, Chintya memang melahirkan anaknya dengan prosedur sesar karena air ketubannya terus merembes. Dokter sudah mengusahakan supaya dia dapat melahirkan secara per vaginam, tetapi tidak berhasil dan akhirnya diputuskan untuk sesar. 

Pada kehamilannya yang kedua, barulah Chintya mengetahui bahwa dia berstatus HIV positif. Dia mendapatkan arahan-arahan dari dokter terkait kehamilannya. Dia diberi tahu bahwa harus minum obat dan lebih baik melahirkan dengan prosedur sesar. Selain itu, Chintya disarankan untuk tidak memberikan ASI bagi anaknya nanti. Merasa tidak punya pilihan lain, Chintya menjalankan apa yang disarankan oleh dokter. 

Terjeda sembilan tahun dari kelahiran anaknya yang kedua, Chintya mengandung anak ketiga setelah memutuskan melepas kontrasepsi pada tahun ketujuh. “Saya memang ingin punya tiga anak, karena kalau dua itu rasanya masih kurang ramai,” demikian Chintya berkisah.

Chintya belum sengaja berkonsultasi ke layanan kesehatan mengenai program kehamilan, tetapi Chintya merasa cukup siap karena sudah terpapar dengan berbagai informasi tentang langkah-langkah untuk mempersiapkan diri dan merencanakan kehamilan bagi perempuan dengan HIV positif, termasuk bagaimana mengontrol viral load agar terus undetectable. Karena sudah bertahun-tahun viral load-nya tidak terdeteksi, Chintya yakin dapat melahirkan anaknya tanpa terjadi penularan. 

Chintya pertama kali ke dokter kandungan ketika usia kehamilannya masih kurang dari sebulan. Chintya hanya ingin memastikan bahwa ia betul hamil dan janin yang dikandungnya sehat. Baru pada usia kehamilan 4 bulan, dia mulai berkonsultasi terkait persiapan persalinan. 

Chintya mengaku mengalami kendala karena dokter yang menanganinya bukan orang yang sama. “Karena kontrol di rumah sakit pemerintah yang dokternya ganti-ganti, kendalanya kita harus ngasih tahu dari awal lagi setiap ketemu dengan dokter yang baru. Harus cerita lagi riwayatnya seperti apa, keinginan saya seperti apa,” keluhnya.

Ketika Chyntia menyampaikan ingin memberikan ASI untuk anaknya, dokter yang saat itu dia temui tidak dapat memberikan jawaban. Dokter kemudian menyarankan untuk pakai sufor alih-alih memberikan ASI. Jawaban tersebut mengingatkan Chyntia pada kejadian yang dia alami saat mengandung anaknya yang kedua. Saat itu, dokter juga menyarankan agar Chyntia tidak memberikan ASI. 

Namun, sekarang kondisinya sudah berbeda. Jika sebelumnya Chyntia langsung menurut pada kata dokter, kali ini Chyntia sudah tahu bahwa berdasarkan pedoman PPIA, ibu dengan status HIV positif sudah boleh memberikan ASI selama syarat-syaratnya terpenuhi. Viral load Chintya selalu undetected, kedua anak Chintya sebelumnya juga HIV negatif, dan dia pun sudah teredukasi tentang cara pemberian ASI yang aman. Maka kali itu, Chyntia berusaha meyakinkan dokter agar mengizinkannya memberikan ASI, meskipun belum berhasil. 

Pada bulan berikutnya, Chyntia kembali melakukan kontrol dan bertemu dengan dokter yang berbeda dengan sebelumnya. Dokter baru tersebut ternyata memiliki pandangan lebih terbuka dan pengetahuan yang lebih mutakhir. Beliau menerangkan bahwa kebijakan di rumah sakit tersebut itu belum memperbolehkan pemberian ASI dari ibu dengan HIV positif, sehingga dokter tidak dapat menyarankan hal tersebut. Namun, beliau juga kemudian menambahkan bahwa jika sang ibu tetap ingin memberikan ASI, dia dapat membuat surat pernyataan bahwa ingin memberikan ASI kepada anaknya dan tidak akan menuntut pihak rumah sakit jika anaknya kemudian positif. 

Dengan bekal informasi tersebut, Chyntia membuat surat pernyataan yang dibutuhkan sesaat sebelum persalinan. Cynthia senang karena tidak ada lagi halangan baginya untuk memberikan ASI. Meski ketika bayinya berusia 2,5 bulan  Chintya harus berpindah ke susu formula karena ASI-nya berkurang, Chintya tetap senang karena dia memiliki pilihan dan diberi kesempatan untuk memutuskan apa yang ingin dia lakukan sebagai seorang ibu. 

Cynthia membuktikan bahwa dengan bekal informasi yang cukup, misalnya tentang program PPIA, perempuan dengan HIV positif dapat memiliki posisi tawar ketika pilihannya dibatasi oleh layanan yang masih diskriminatif. 

“Saya paling banyak dapat infonya dari jaringan nasional IPPI,” terangnya. Chyntia pertama kali bergabung sebagai anggota IPPI di Bekasi pada tahun 2011. Namun, saat itu dia tidak terlalu aktif mengikuti kegiatan. Baru setelah pindah ke Jakarta pada tahun 2015, dia aktif terlibat pada kegiatan-kegiatan komunitas. 

Setelah mendapatkan informasi dari IPPI, Chyntia mengingat kembali pengalaman-pengalaman dia sebelumnya ketika mengakses layanan. Saat itulah Chyntia menyadari bahwa program layanan yang diaksesnya pada kehamilan kedua adalah program PPIA. Tidak hanya itu, Chyntia juga sadar dan merasa heran karena pedoman layanan yang telah ditetapkan ternyata tidak dijalankan secara total di layanan kesehatan. 

Selain pedoman yang tidak sepenuhnya dijalankan, Chyntia juga masih merasakan beberapa perlakuan yang dapat tergolong pada diskriminasi, meskipun dilakukan dengan halus. 

Chyntia ingat ketika akan menjalani operasi sesar, terdapat beberapa ruangan operasi yang digunakan untuk persalinan. Namun, semua pasien ODHA yang akan melakukan persalinan hanya diarahkan ke satu ruangan yang sama. “Apakah di sana memang disediakan peralatan yang lebih ekstra, atau seperti apa? Saya gak tahu itu diskriminasi atau enggak. ” Chyntia hanya dapat berasumsi sendiri karena tidak mendapatkan penjelasan apa pun dari petugas layanan. 

“Walau mungkin gak sefrontal zaman-zaman dulu, tapi masih ada aja yang bisik-bisik ketika mengakses layanan,” kata Chyntia.  

Kesulitan lain muncul ketika Chyntia meminta rujukan untuk melakukan EID bagi anaknya. Kali pertama Chyntia meminta rujukan tersebut, dokter anak yang bertugas ternyata menolak permintaannya. Dokter malah bertanya, apa itu EID, dan justru Chyntia yang kemudian memberi penjelasan kepada dokter. Bahkan setelah dijelaskan pun, dokter tetap menolak dengan berkata bahwa mereka biasanya hanya menggunakan tes viral load saja. Baru setelah dokter yang ditemuinya berganti dan kebetulan memiliki pengetahuan lebih mutakhir, Chyntia mendapatkan rujukan yang dia butuhkan.

Hal ini kembali menegaskan betapa pentingnya bagi perempuan dengan HIV positif untuk mengetahui hak-haknya, pilihan-pilihannya, dan apa saja yang perlu dia lakukan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk anaknya. Tanpa pengetahuan dan bekal informasi yang cukup, perempuan dengan HIV positif tidak dapat meminta haknya dan menjalankan pilihannya sendiri. Terutama dengan masih banyaknya petugas layanan kesehatan yang tidak sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan dan hak-hak perempuan HIV positif, bahkan masih memelihara stigma dan diskriminasi. 

Cynthia berpesan kepada perempuan dengan HIV positif lainnya untuk belajar sebanyak mungkin, terutama dengan teman-teman di komunitas. Selain untuk membekali dengan informasi, juga agar terhindar dari perasaan sendiri dan kesepian, apalagi merasa bahwa hidup sudah mau berakhir. “Selain info dari internet, penting sekali untuk kumpul dengan teman-teman komunitas untuk sharing, untuk mendapat pengetahuan riil dari pengalaman teman-teman yang lain,” kata Chyntia. 

Untuk petugas-petugas di layanan kesehatan, Chyntia berharap dapat terpapar dan teredukasi dengan lengkap dan komprehensif, tidak setengah-setengah. Harapannya, kalau sudah ada satu pedoman nasional, selayaknya pedoman itu dijalankan sepenuhnya di semua layanan. Baik yang di ibu kota maupun di daerah-daerah harus mempraktikkan standar yang sama. “Yakin kalau udah kenal bakal sayang, tapi kalau belum paham, ya, bakal takut. Jiwa memahami dan menyayangi akan terbangun dengan edukasi yang komprehensif,” pungkasnya.  

Ketika menyampaikan ceritanya, bayi ketiga Cynthia telah menjalani tes EID pertama dengan hasil negatif. 

Dengan informasi dari komunitas, keberanian untuk meminta pemenuhan hak, dan dukungan dari pasangan, Chyntia dapat menjalani kehamilan dan melahirkan bayinya dengan aman, tanpa perlu mengorbankan pilihan dan preferensinya sebagai perempuan. Chyntia membuktikan, perempuan dengan HIV positif punya dan boleh menentukan pilihan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia