Lily Mateka: Membangkitkan Kekuatan dan Bahagia sebagai Perempuan dengan HIV-AIDS

Stigma seringkali muncul dari ketidaktahuan dan kegagalan untuk memahami. Termasuk stigma terkait orang yang hidup dengan HIV. Masyarakat yang tidak pernah berinteraksi langsung dengan ODHIV sangat mungkin memiliki dan memelihara stigma buruk. Pemahaman mereka tentang kehidupan ODHIV banyak dipengaruhi oleh ketakutan-ketakutan yang sebenarnya tidak berdasar. 

Keberadaan stigma dan diskriminasi dapat dikurangi jika semakin banyak masyarakat awam yang mendapatkan cerita tentang kehidupan sehari-hari pada ODHIV. Bahwa selain status HIV-nya, tidak ada yang membedakan ODHIV dengan orang-orang lain. Sehingga tidak ada alasan untuk memelihara stigma apalagi diskriminasi terhadap ODHIV. 

Salah satu cerita penting yang perlu disimak datang dari Lily Mateka, seorang perempuan dengan HIV asal Manado. 

Lily pertama kali mengetahui tentang statusnya ketika mendiang suaminya sakit. Ketika sang suami menjalani tes VCT, ternyata hasilnya reaktif. Dokter kemudian menyarankan Lily untuk segera menjalani tes juga. “Dan ternyata, puji Tuhan, hasilnya positif juga,” kata Lily mengenang momen yang mengubah jalan hidupnya itu. Lily yang saat itu memang masih awam tentang HIV mengaku sempat terkejut ketika mendapatkan kabar tersebut. “Waktu tahu agak shock, tapi mau gimana lagi, harus dijalani,” katanya.

Suami Lily meninggal pada tahun 2018, meninggalkan Lily dan dua orang anak dari pernikahan mereka. Kedua anak Lily juga sudah menjalani tes dan dinyatakan negatif. 

Setelah suaminya meninggal, Lily sadar bahwa dialah yang harus menjadi kuat untuk anak-anaknya. Dia tidak bisa mengandalkan orang lain. Hidup membuatnya tidak memiliki pilihan lain kecuali bangkit dan bertahan. Untuk anak-anaknya dan untuk dirinya sendiri. Maka, Lily tak menunda-nunda untuk mulai menjalani terapi ARV. “Pas tahu status langsung menjalani pengobatan. Karena masih pengin hidup,” tuturnya. 

Lily bercerita lebih lanjut tentang sumber kekuatannya untuk bertahan. “Dorongan untuk bertahan muncul terutama dari anak-anak. Awalnya saya pikir bahwa saya pasti akan meninggal setelah melihat bagaimana suami saya meninggal. Tetapi setelah itu saya diberi informasi oleh dokter bahwa saat ini HIV itu bisa dikendalikan dengan ARV. Akhirnya timbul dorongan dalam hati bahwa saya gak boleh menyerah, gak boleh putus asa karena punya anak-anak yang harus saya urus dan besarkan. Kalau saya berputus asa, nanti anak-anak siapa yang menjaga,” katanya.  

Meski Lily memiliki semangat hidup yang tinggi, bukan berarti virus HIV dalam tubuhnya tidak mengubah apa pun. Pada tahun-tahun pertama setelah suaminya meninggal, Lily sempat memilih untuk menutup diri. Statusnya sebagai ODHIV membuat dia takut. Saat itulah keberadaan komunitas menjadi pembuka pikiran Lily. 

“Awalnya saya menutup diri. Setelah bergaul dengan teman-teman komunitas sesama ODHIV, sering sharing, saling kasih support, akhirnya saya mau kembali membuka diri,” kenang Lily.

Cerita yang dibagikan oleh teman-teman dari komunitas menyadarkan Lily. Semula Lily berpikir bahwa hidupnya tak akan lagi sama karena statusnya sebagai HIV. Dia pikir, dia tak akan bisa lagi menjalani hidup seperti perempuan lainnya. Cerita dan dukungan dari teman-teman di komunitas akhirnya membuka mata Lily bahwa pikirannya itu keliru. Lily pun memutuskan untuk berhenti sekadar bertahan hidup dan mulai menjalani hidupnya dengan sepenuh hati. 

Dengan keterbukaan baru yang telah dimilikinya, Lily dipertemukan dengan laki-laki yang kini menjadi suami keduanya. Laki-laki itu berstatus negatif HIV. Sejak pertama dekat, Lily sudah memberitahukan statusnya sendiri. “Ketika jalan sama-sama, langsung saya katakan bahwa saya positif HIV dan respons dia tidak merasa kaget atau apa. Ya, udah, jalanin aja, katanya. Dia bisa menerima keadaan saya seperti ini,” kenang Lily.  

Pada tahun 2021, keduanya memutuskan untuk menikah.

Setelah menikah, Lily dan pasangan memutuskan untuk memiliki anak. “Pada saat itu karena kami ada rencana untuk memiliki anak lagi, jadi konsultasi ke dokter tentang kemungkinan-kemungkinannya. Karena dari faktor usia juga sudah berisiko. Dokter bilang bisa hamil tapi nanti ketika lahiran harus dengan prosedur sesar,” kata Lily. 

Selama kehamilan, Lily mendapatkan dukungan penuh dari suaminya. “Karena dia tahu kondisi saya, dia selalu siaga,” kata Lily. Meski suaminya bekerja di luar kota, tetapi selalu mengantar Lily ke dokter jika sedang pulang. Tidak ada tantangan yang Lily alami di masa kehamilan anak ketiganya itu. “Cuma di awal-awal saja, mungkin karena pengaruh minum obat, jadi kadang ketakutan dan gelisah. Tapi itu hanya di awal-awal saja, setelah itu tidak ada lagi. Tidak ada bedanya dengan kehamilan anak pertama dan kedua,” terangnya. 

Sayangnya, Lily tidak dapat memberikan ASI untuk anaknya. “Karena waktu pas lahiran udah gak sempat lagi ngomong ke dokter. Padahal rencananya mau kasih ASI, tapi pas udah di ruangan bayi mereka udah kasih susu formula. Sedangkan setahu saya kalau mau ASI tidak boleh mixed feeding jadi saya bilang ya sudah pakai susu formula saja,” kata Lily. Memang, selama masa kehamilannya, Lily belum sempat berkonsultasi dengan dokter terkait rencana pemberian nutrisi untuk bayinya. Selain itu, Lily juga berencana untuk kembali bekerja setelah melahirkan, jadi pada akhirnya dia dan pasangan memutuskan untuk menggunakan susu formula sebagai sumber nutrisi bagi anaknya. 

Komunikasi yang lancar dengan petugas layanan membantu Lily untuk terhindar dari kendala selama hamil dan melahirkan. “Mungkin karena kita sering berkomunikasi dengan petugas layanan terkait kehamilan, jadi tidak ada kendala apa pun, malah sering dikasih tahu informasi tentang PPIA,” kata Lily. Dari layanan, Lily mendapatkan informasi tentang profilaksis yang perlu diberikan kepada bayi setelah lahir, hal-hal yang perlu dilakukan untuk memantau kesehatan, serta tes yang nantinya perlu dijalani oleh bayinya.  

Setelah menjalani kehidupannya sebagai perempuan positif HIV, banyak hal yang berubah dalam diri Lily. “Kalau dulu saya merasa rendah diri dan takut, tapi sekarang sudah enggak lagi. Karena saya berpikir saya itu harus berdaya, harus punya semangat untuk kelangsungan hidup nanti. Jadi saya merasa saya sudah tidak takut lagi,” ungkapnya.  

Lily yakin bahwa tidak ada yang membedakannya dengan perempuan atau manusia-manusia lain. “Apa bedanya orang yang HIV positif dengan yang tidak? Jadi tidak perlu disembunyikan, tidak perlu rendah diri atau takut. Kita semua sama,” kata Lily. 

“Untuk teman-teman yang di luar sana, yang sama-sama statusnya positif HIV, saya cuma berpesan supaya kita tetap semangat, tetap kuat, karena kalau kita kuat, anak-anak dan keluarga kita juga akan kuat. Kalau kita lemah, mereka juga akan lemah. Jangan merasa rendah diri, takut, sendirian, karena kita tidak sendiri,” begitu pesan Lily kepada sesama perempuan positif.  

Ketika pertama kali mengetahui tentang statusnya, Lily memang sempat terkejut. Dia pikir hidupnya tak akan lagi lama. Namun, pengetahuan dan informasi membuat Lily sadar bahwa pemikiran itu keliru. Lebih dari itu, Lily telah membuktikan sendiri bahwa sebagai perempuan dengan HIV, Lily masih bisa menemukan pasangan yang menerima dirinya apa adanya dan melahirkan anak yang sehat tanpa menularkan virus dalam tubuhnya. 

Lily kini menikmati kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, mengurus ketiga orang anaknya. Keseharian Lily tak ada bedanya dengan ibu rumah tangga yang lain. Jadi, apakah masih ada alasan untuk memelihara stigma dan diskriminasi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia